Trililililit!
Trililililit! Trililililit! Sore itu telepon Mamat berbunyi.
“Halo?”
“Mat,
mungkin ini terdengar tidak enak, tapi... batas waktunya aku undur menjadi
besok siang.”
“Apa,
bagaimana bisa? Bagaimana...”
“Lakukan
saja, atau kamu akan kehilangan jutaan rupiah yang berharga itu, penjelasannya
nanti belakangan.”
Tuuut!
Penelepon tersebut menutup teleponnya.
Beni
dan Erlan melihat ke arah bos mereka.
“Ada
apa bos?” Tanya Beni.
Mamat
tidak segera menjawabnya, dia langsung mengarahkan tangan kanannya ke kertas di
meja.
“Besok
pagi harus selesai.” Katanya.
Beni
dan Erlan saling bertatapan, kemudian melakukan pekerjaannya masing-masing.
Tak
beberapa lama kemudian Mamat terlihat mencari-cari sesuatu, kursinya diputar ke
kanan dan ke kiri.
“Dimana
itu?”
“Dimana
apa bos?” Tanya Beni.
“Pensil
itu, pensil yang ada warna biru di ujungnya....”
“Terakhir
kali kulihat, sebelum bos menerima telepon, ada di genggaman tangan kanan bos.”
Jawab Beni.
“Uh,
tapi kok jadi tidak ada ya, kemana pensil itu pergi?”
Mamat
mengacak-ngacak hampir semua benda di sekitarnya, tapi pensil tersebut tidak
ada.
“Aduh,
dimana ya?”
Hingga
matahari terbenam, Mamat masih belum menemukannya. Kemudian dia pergi ke toilet
untuk buang air kecil. Selesai buang air kecil dia membasuh mukanya, lalu
mengaca.
“Kampreeet!”
Katanya sambil mengambil sebuah kayu panjang dari jepitan telinga kanannya,
yang ternyata adalah sebatang pensil dengan warna biru di ujungnya. Akhirnya
pensil hilang tersebut berhasil ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar