Pagi
itu suasana kelas terasa tegang. Semua siswa duduk dengan tegak. Mata mereka
tidak lepas dari memandangi pintu.
“Apakah
semalam kamu sudah menghafal?” Tanya Ujang.
“Sedikit.”
Jawab Atang.
“Mampus....”
Kata Ujang lagi.
Tlak... tlak... tlak... terdengar suara langkah kaki, kemudian, kreeek... pintu terbuka.
Muncul seorang bapak-bapak berbadan tinggi besar, tetapi tidak berkumis tebal,
alisnya yang tebal. Pandangannya tajam menyapu semua siswa.
“Baik,
kita mulai ujiannya.”
Pak
Guru kemudian mengambil sebatang kapur pendek dari atas meja.
Atang
dan Ujang melotot melihat semua yang ditulis di papan tulis, soal-soal
matematika yang memusingkan.
Tak
ada seorangpun yang bergerak, hanya memelototi papan tulis seperti Atang dan
Ujang.
Kapur
yang dipegang pun habis, Pak Guru mengambil satu lagi yang sama-sama pendek
seperti sebelumnya.
Greeek... greeek...
Ketika
ditulis, tidak memunculkan tulisan.
Siswa
tetap diam.
Pak
Guru melihat benda putih di tangannya tersebut, kemudian dia berkata, “Apa? Ini
bukan kapur, tapi sukro!”
“Haaah?”
Kata para siswa keheranan.
Berbeda
dengan yang lainnya, Atang malah tertawa cekikikan, dan itu membuat Pak Guru
marah.
Plak!
Sukro itu pun membentur kepala Atang.
“Atang,
mengerjakannya diluar.” Kata Pak Guru dengan dinginnya.
“Tapi
pak?” Kata Atang.
“Keluar.”
“Tapi
pak?”
“Keluar
atau nilainya nol.”
Atang
lalu keluar dari kelas.
“Pak,
bagaimana saya mau mengerjakan kalau soalnya ditulis di papan tulis di dalam
kelas?” Atang komplain.
Pak
Guru memberikan selembar kertas yang berisi soal-soal tersebut.
“Sial...”
Kata Atang di dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar