Senin, 29 Februari 2016

Dibawah Pohon Itu

Teringat kembali kawan, masa-masa itu
Ketika kita berjalan bersama, saling merangkul bahu masing-masing
Rasa semangat dan optimis mengalir deras dalam tubuh
Kita selalu siap menghadapi apa yang akan terjadi

Tapi kini semuanya telah berubah
Satu persatu kita ditaklukkan waktu
Ya, waktu, yang tidak dapat kita kalahkan
Waktu yang tidak peduli dengan seberapa kuat kita

Akhirnya kini tinggal aku sendiri
Disini, di tempat dimana dulu kita berdiri
Menyaksikan terbit dan tenggelamnya matahari
Disini, dibawah pohon itu

Bawa Aku ke Dunia Ilusimu

Bawa aku ke dalam dunia ilusimu
Karena aku tahu disana indah
Jangan keluarkan aku ketika sudah disana
Karena kamu harus tahu kalau aku takkan mau

Tolonglah hey... tolonglah
Bawaaku ke dunia ilusimu
Tolonglah hey... tolonglah
Bawa aku ke dunia ilusimu
Aku ingin bersamamu disana
Bahagia selamanya

Mengejar Fatamorgana

Kukira apa yang kita kejar selama ini adalah nyata
Tapi ternyata itu semua hanya fatamorgana
Selama ini pula olehmu beribu harapan telah diucapkan
Yang akhirnya hanya menghadirkan kekecewaan

Setiap masalah datang menimpa kita
Kamu selalu mengarahkan telunjukmu padaku
Padahal separuh masalah adalah akibat ulahmu
Mengalihkan perhatian ternyata caramu membela diri

Bukan aku merasa takkan pernah berbuat kesalahan
Aku hanya ingin keadilan, kerjasama, dan kejujuran
Bukan aku sepenuhnya membenci cita-cita
Aku hanya ingin tak melenceng dari dunia nyata

Keramaian Kebencian

Ingin ku pergi dari keramaian ini
Bersemadi di tempat sepi
Biarlah aku disebut penyendiri
Daripada dipaksa menjadi pendengki
Kedengkian itu menjadi keramaian
Tapi bukan ramainya perdamaian
Melainkan ramainya kebencian

Wahai Jiwa-Jiwa Yang Seakan Mati

Wahai jiwa-jiwa yang seakan mati...
Kemana kalian akan pergi...
Karena telah dianggap tak berarti...

Wahai jiwa-jiwa yang seakan mati...
Kemana kalian akan berhenti...
Karena telah dianggap tak punya tujuan pasti...

Wahai jiwa-jiwa yang seakan mati...
Apakah kalian hanya akan berdiam diri...
Mengetahui semuanya seperti ini....

Minggu, 28 Februari 2016

Kenyamanan & Keteduhan

Terdiam sendiri aku di dalam kamar
Tangan memegang segelas teh manis
Hujan diluar begitu deras
Menghadirkan kenyamanan dan keteduhan
Tak ada suara-suara tak berguna
Selain ramainya binatang malam
Yang bahagia diguyur hujan
Apakah ini akan jadi yang terakhir?
Entahlah...
Yang terpenting aku menikmatinya

Sabtu, 27 Februari 2016

Perut Buncit Samadengan Koruptor

Siang itu pulang sekolah, Aceng berjalan melewati pasar. Di depan sebuah toko mainan, dia melihat seorang ibu hamil sedang duduk sambil menunggu angkutan umum lewat.

Dihampirinya ibu tersebut, kemudian...

Duk! Aceng memukul perut ibu itu menggunakan tangan kanannya.

Sontak orang-orang segera menampar Aceng.

“Kurangajar kau bocah SD! Apa masalahmu?”

“Dia koruptor yang harus dibasmi pak!” Jawab Aceng mantap.

“Eh... darimana kamu tahu kalau dia koruptor?”

“Kata Pak Dono satpam di sekolah saya, koruptor itu merusak negara, karena itu harus dihajar, dan ciri-cirinya adalah berperut buncit!” Jawab Aceng lagi.

Mendengar jawaban tersebut, orang-orang hanya melongo sambil garuk-garuk kepala. Ibu-ibu hamil tadi beruntung tidak mengalami luka yang serius.

Sedangkan Aceng langsung diusir dari sana.

“Pergi sana dasar bocah edan!” Kata orang-orang.

Ketika Alam Bangun

Beginilah yang terjadi, oh beginilah yang terjadi
Ketika alam bangun dari diamnya
Kita semua bertanya-tanya
Ada apa ini?
Lalu setelah kita tahu jawabannya
Kita semua saling menyalahkan
Saling tunjuk yang disini dan disana
Yang sebenarnya tak bersalah, menjadi bersalah
Yang sebenarnya bersalah, cuci tangan kemudian pergi
Beginilah yang terjadi, oh beginilah yang terjadi

Terima Kasih Untuk Paduka

Tak ada habisnya kami ucapkan terima kasih...
Pada paduka yang telah berjuang tanpa pamrih...
Membahagiakan kami yang sedang sedih...

Berbagai usaha yang paduka telah lakukan tak percuma...
Semuanya berguna tak hanya tuk saat ini saja...
Tapi juga untuk masa depan anak cucu dan seterusnya...

Meskipun usia telah memakan...
Paduka tetap teladan...
Untuk kemarin, sekarang, dan masa depan...

Terima kasih untuk paduka....

Kamis, 25 Februari 2016

Penghapus Berbagai Mimpi Semalam

Ini aku terbangun dari tidur
Disertai rasa sakit di punggung
Berbagai mimpi telah terjadi semalam
Namun tak ada satupun yang kuingat
Karena hanya tentang dirimu yang selalu ada
Menghapus berbagai mimpi semalam

Rabu, 24 Februari 2016

Rasa

Pertama kali kulihat dirimu
Muncul rasa dalam diriku
Rasa yang berbeda dari rasa lainnya
Rasa yang belum pernah kurasa sebelumnya

Temanku berkata itu hanya tipuan
Tipuan yang nantinya mendatangkan kekecewaan
Katanya lebih baik aku mengejar impian
Impian yang sedikit harapan

Tapi aku ingin membuktikan semuanya
Karena mungkin temanku berbeda takdirnya
Lalu terbukti rasa itu bukan tipuan
Karena terkadang keyakinan lebih penting dari saran

Aku ingin rasa itu tidak sia-sia
Aku ingin rasa itu berguna pula untuk semua manusia
Aku ingin aku dan kamu bukan hanya hari ini
Aku ingin aku dan kamu terikat janji suci
Aku ingin aku dan kamu berjuang bersama
Menebar cinta dan damai keseluruh penjuru dunia
Hingga akhir itu tiba bagi kita berdua

Selasa, 23 Februari 2016

Kami Salut!

Kami salut!
Kami salut dengan penghakimanmu pada kami
Tapi itu menimbulkan pertanyaan
Apakah kamu mengenal kami?
Apakah kamu tahu kehidupan kami?
Luar biasa, mungkin kamu seorang dewa!
Tahu segalanya seperti menyaksikan kami dari langit
Kami salut!

Senin, 22 Februari 2016

Penunggu

Bagaimana kabarnya wahai disana
Yang sedang menunggu waktu tiba
Ratusan tahun seperti petapa
Ketahuilah bahwa kerajaan sekarang hanya canda belaka
Karena itu kami semua selalu menanti anda
Untuk menjadi solusi semua masalah yang ada
Dan pewujud kejayaan yang pernah ada

Estafet

Akhirnya sang waktu telah tiba
Bagi kami untuk turun dari singgasana
Kemudian menyerahkan mahkota diraja
Pada kalian generasi muda

Berbagai kerajaan silih berganti
Berbagai raja silih mengisi
Berbagai peristiwa silih terjadi
Tapi hanya ada satu yang pasti
Kita semua akan mati
Karena kita takkan abadi

Maka rapatkanlah barisan
Tegakkanlah badan kalian
Hilangkan semua kebencian
Bersama hadapi masa depan

Tembok Diantara Kita

Kamu merasakan teman dalam diriku
Aku merasakan teman dalam dirimu
Tapi rasa itu akan tetap menjadi rasa
Selama tembok itu masih berdiri kokoh diantara kita 

Sabtu, 20 Februari 2016

Kunaon Jeung Alam

Taneuh ngageter
Cai laut ngabudal
Caah ngeueum
Angin ribut nimpa
Gunung-gunung bitu
Sumur, talaga, walungan saat
Kebon, leuweung, sawah ludes
Sato piaraan paéh
Méga ngaleungit
Hawa manasan
Kasakit mahabu
Waktu eta arurang nanya
Kunaon jeung alam?
Naha urang arék ngawujudkeun
Atawa nyegah éta?

Penyesalan

Penyesalan
Ya... penyesalan
Menyesal aku saat itu mempercayai semua ucapanmu
Yang seperti kupu-kupu harapan
Terbang tinggi kemudian menghilang

Seharusnya saat itu aku sadar
Ya... seharusnya
Tapi waktu takkan bisa diputar kembali
Semuanya telah menjadi
Menjadi apa yang memang harus disesalkan

Jumat, 19 Februari 2016

Kami Takkan Pergi

Mereka datang dengan pasukan mereka
Mereka datang dengan mesin mereka
Berbaris rapi menggetarkan bumi
Mengisap air di kolam, di sumur, di sungai
Mengeruk tanah di kebun, di lapangan, di sawah
Mencukur setiap bukit, gunung, hutan
Mengambil apa yang ada untuk dibawa pulang
Perut mereka menjadi semakin buncit, sedangkan kami semakin kurus

Mereka membangun rumah disana-sini, membawa keluarga untuk tinggal disini
Hingga akhirnya mereka menjadikan kami budak di negeri sendiri
Seruan mengusir pribumi lantang dikumandangkan, bergema ke setiap penjuru
Terasa menusuk telinga bagi siapa yang menentangnya

Memang kami lemah dibanding mereka
Tapi kami percaya masih ada hari esok
Kami masih menggenggam benih-benih harapan masa depan
Yang kalian takkan bisa merebutnya
Kami percaya dengan waktu
Kami percaya dengan awal
Kami percaya dengan akhir
Kami takkan pergi dari sini

Permulaan Baru Bagi Kita

Tak apalah menangis di malam
Mengetahui semuanya terungkap
Ketika orang-orang yang menganggap kita teman sekaligus saudara
Diam-diam menusuk dari belakang

Tak apalah menangis di malam
Untuk menghilangkan rasa sakit di hati
Menyesali telah percaya pada semua dusta manis
Bersama mereka berakhir sudah

Tapi hari esok kita harus berhenti menangis
Karena akhir bersama mereka adalah permulaan baru bagi kita

Manéh Noél Aing?

Ari manéh noél aing?

Henteu.

Ah bener manéh bieu noél aing!

Henteu, ya ampun meni kitu ka abdi téh.

Manéh kan aya ditukangeun aing?

Anging kan sanés abdi wungkul nu dipungkureun anjeun teh.

Saha atuh manéh apal teu?

Tuh itu, jalma itu nu minggat!

Wéi... kunyuk!

Kita Bersama

Ada saat dimana kamu merasa bimbang
Sendirian di pinggir jalan
Orang-orang yang kamu kenal meninggalkanmu
Melewat begitu saja dengan bawaannya masing-masing
Kamu memanggil-manggil mereka
Tapi mereka hanya meliuk, kemudian pergi
Padahal dulu mereka suka memintamu membersihkan tangan mereka

Janganlah kamu bersedih
Seka air di kedua pipimu
Lihatlah ke samping
Kamu tahu ada yang merangkulmu

Relakan saja semua yang telah kamu lakukan untuk mereka
Karena semua itu jadi percuma jika diambil kembali
Berdirilah, mari kita berjalan bersama
Hilangkan semua kebencian
Sejukkanlah hati ini dengan semangat, optimis, dan tulus
Bersama kita menuju jalan disana yang terang benderang
Kita bersama

Rabu, 17 Februari 2016

Tuan Botak Baik-Baik Saja

Kau berkata semuanya baik
Padahal kekacauan ada dimana-mana
Kau berkata santai saja
Padahal bencana semakin dekat

Kau menganggap kami tak berakal
Padahal otak kami tak bodoh
Kau menganggap kami tak berperasaan
Padahal hati kami tak mati

Kami sadar
Kami belajar
Kami membayar
Wahai Tuan Botak Baik-Baik Saja

Momen Dini Hari

Aku dapat merasakannya
Ketika hawa dingin itu
Memasuki kedua paru-paru
Perlahan mengalir ke seluruh tubuh

Ini adalah momen yang nyaman
Dimana tidak ada suara-suara yang percuma
Hanya keheningan bersama merdunya binatang malam
Dan hembusan angin yang memberikan kedamaian

Janganlah kalian merampas momen ini
Karena tak semudah mengedipkan mata untuk mendapatkannya
Janganlah kalian mengganggu momen ini
Karena tak mustahil ini akan jadi yang terakhir

Momen dini hari
Teruslah ada
Janganlah menghilang
Aku membutuhkanmu
Karena kedamaian semakin sulit dicari

Senin, 15 Februari 2016

Sasaran Berjalan

Grus grus grus... seorang lelaki berlari masuk hutan...
Berusaha menyelamatkan diri dari sesosok pemburu yang menyeramkan...
Senapan di tangannya sudah memuntahkan peluru hingga ratusan...
Tapi tidak ada satupun yang mempan...

Lelaki itu terus berlari tanpa melihat kebelakang...
Berharap nyawanya takkan melayang...
Karena hidupnya masih ditunggu oleh seseorang...
Yang menanti dirumah tanpa bisa tenang...

Lelaki itu masih terus berlari...
Berharap ada penyelamat yang mencari...

Lelaki itu masih terus berlari...
Berharap dapat bertemu orang yang dicintai...

Tapi semuanya bisa jadi hanyalah harapan...
Kalau dia masih tetap jadi sasaran berjalan....

Jumat, 12 Februari 2016

Kemana Pensil Itu Pergi

Trililililit! Trililililit! Trililililit! Sore itu telepon Mamat berbunyi.

“Halo?”

“Mat, mungkin ini terdengar tidak enak, tapi... batas waktunya aku undur menjadi besok siang.”

“Apa, bagaimana bisa? Bagaimana...”

“Lakukan saja, atau kamu akan kehilangan jutaan rupiah yang berharga itu, penjelasannya nanti belakangan.”

Tuuut! Penelepon tersebut menutup teleponnya.

Beni dan Erlan melihat ke arah bos mereka.

“Ada apa bos?” Tanya Beni.

Mamat tidak segera menjawabnya, dia langsung mengarahkan tangan kanannya ke kertas di meja.

“Besok pagi harus selesai.” Katanya.

Beni dan Erlan saling bertatapan, kemudian melakukan pekerjaannya masing-masing.

Tak beberapa lama kemudian Mamat terlihat mencari-cari sesuatu, kursinya diputar ke kanan dan ke kiri.

“Dimana itu?”

“Dimana apa bos?” Tanya Beni.

“Pensil itu, pensil yang ada warna biru di ujungnya....”

“Terakhir kali kulihat, sebelum bos menerima telepon, ada di genggaman tangan kanan bos.” Jawab Beni.

“Uh, tapi kok jadi tidak ada ya, kemana pensil itu pergi?”

Mamat mengacak-ngacak hampir semua benda di sekitarnya, tapi pensil tersebut tidak ada.

“Aduh, dimana ya?”

Hingga matahari terbenam, Mamat masih belum menemukannya. Kemudian dia pergi ke toilet untuk buang air kecil. Selesai buang air kecil dia membasuh mukanya, lalu mengaca.

“Kampreeet!” Katanya sambil mengambil sebuah kayu panjang dari jepitan telinga kanannya, yang ternyata adalah sebatang pensil dengan warna biru di ujungnya. Akhirnya pensil hilang tersebut berhasil ditemukan.

Mamat kembali ke ruangan kerjanya, kemudian mengerjakan pekerjaannya.

Suara Tertawaan Misterius

Malam itu, Syarip keluar dari kosannya untuk membeli makanan. Ketika akan melewati jalan yang biasa dilaluinya, jalan tersebut tertutup lumpur bekas banjir tadi sore. Terpaksa dia melewati jalan yang membelah kompleks pekuburan. Jalan itu sepi dan minim penerangan.

Di pertengahan jalan, dia merasa ada seseorang yang mengikutinya di belakang, tapi setelah dilihat, tidak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya mulai berdiri.

Beberapa menit kemudian dia mendengar suara langkah kaki di sampingnya, tapi setelah dilihat, ternyata seekor kucing.

Syarip mempercepat langkahnya hingga sampai di depan sebuah masjid yang dipenuhi oleh beberapa pedagang kaki lima.

Selesai membeli makanan, dia kembali melewati jalan tersebut.

Beberapa menit kemudian...

Hihihihi!

Tiba-tiba terdengar suara tertawaan perempuan misterius.

Dia melihat ke sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa.

Hihihihihi! Suara tersebut kembali terdengar

Hihihihihi! Hihihihihi! Hihihihihi! Lama kelamaan volumenya semakin tinggi.

“Iiih kunti!” Kata Syarip sambil berlari sekencang-kencangnya.

Suara tersebut terus terdengar hingga dia sampai di depan kos.

Drrrt... drrrt... drrrt... terasa sesuatu bergetar di badannya.

“Eh?” dia mengambil ponsel di saku jaketnya.

Ternyata ponsel tersebutlah yang mengeluarkan suara tertawaan perempuan tersebut.

“Goblok, ini pasti si Doni yang ngejailin masang alarm pake ringtone kunti!”

Masuk ke dalam kos, Doni dan teman-teman yang lain langsung tertawa terbahak-bahak mengetahui reaksi Syarip. Akhirnya Doni mengakui kalau dialah yang telah menyetel alarm ber-ringtone suara tertawaan kuntilanak tersebut.

Selasa, 09 Februari 2016

Sosok Dari Rerimbunan Pohon

Tuing... duaaar! Suara bom terdengar dari arah utara.

Di sebuah desa di selatan, tiga orang pemuda berseragam coklat sedang duduk di bawah pohon sambil membawa senapan di punggungnya.

“Bud, loe yakin kalo pasukan kita bisa nahan itu pasukan Belanda?” Tanya Anto.

“Yakin gak yakin kita tetep disuruh jagain ini desa.” Jawab Budi.

Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan yang saling berbalas satu sama lainnya dari arah utara.

“Ngeri banget ya kayaknya kalo kita ke garis depan sana.” Kata Anto.

“Iya, tapi lebih ngeri lagi malem-malem gini ini desa kayak desa mati, gak ada penghuninya.” Kata Dodi.

Krik... krik... krik... krik... krik... suara jangkrik beserta binatang malam lainnya terdengar ramai.

“Tolong! Tolong! Tolong!” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah rerimbunan pohon.

“Widih... siapa tuh cewek malem-malem gini?” Kata Anto.

“Loe periksa sana To.” Pinta Dodi.

“Gila loe, bisa-bisa setan tuh, takut gue ah!” Jawab Anto.

“Yaudah kita bertiga aja kesana, sulit amat sih. Ketemu setan juga kagak bakalan mati, kecuali kalo bawa bedil.” Kata Budi.

Mereka bertiga menghampiri rerimbunan pohon tersebut, lalu...

Sesosok perempuan muda muncul dengan berjalan sempoyongan, kedua tangannya menjulur ke depan, mulutnya mengeluarkan darah, dan perutnya bolong berdarah-darah.

“Sun... sun... sundel bolooong!” Kata Budi sambil menunjuk-nunjuk.

Tanpa basa-basi, mereka bertiga langsung lari terbirit-birit.

Tak beberapa lama kemudian, dari rerimbunan pohon muncul seorang laki-laki berseragam coklat sama seperti mereka bertiga.

“Eh goblok malah lari, ini cewek korban mortir Belanda malah dikira sundel bolong. Bukannya ditolongin, ntar keburu mati....” kata lelaki tersebut.

Perempuan itu pun terjatuh ke tanah.

“Yah, mati deh... bener kan. Kampret tuh mereka semua.”

Insiden Cekikikan

Pagi itu suasana kelas terasa tegang. Semua siswa duduk dengan tegak. Mata mereka tidak lepas dari memandangi pintu.

“Apakah semalam kamu sudah menghafal?” Tanya Ujang.

“Sedikit.” Jawab Atang.

“Mampus....” Kata Ujang lagi.

Tlak... tlak... tlak... terdengar suara langkah kaki, kemudian, kreeek... pintu terbuka. Muncul seorang bapak-bapak berbadan tinggi besar, tetapi tidak berkumis tebal, alisnya yang tebal. Pandangannya tajam menyapu semua siswa.

“Baik, kita mulai ujiannya.”

Pak Guru kemudian mengambil sebatang kapur pendek dari atas meja.

Atang dan Ujang melotot melihat semua yang ditulis di papan tulis, soal-soal matematika yang memusingkan.

Tak ada seorangpun yang bergerak, hanya memelototi papan tulis seperti Atang dan Ujang.

Kapur yang dipegang pun habis, Pak Guru mengambil satu lagi yang sama-sama pendek seperti sebelumnya.

Greeek... greeek...

Ketika ditulis, tidak memunculkan tulisan.

Siswa tetap diam.

Pak Guru melihat benda putih di tangannya tersebut, kemudian dia berkata, “Apa? Ini bukan kapur, tapi sukro!”

“Haaah?” Kata para siswa keheranan.

Berbeda dengan yang lainnya, Atang malah tertawa cekikikan, dan itu membuat Pak Guru marah.

Plak! Sukro itu pun membentur kepala Atang.

“Atang, mengerjakannya diluar.” Kata Pak Guru dengan dinginnya.

“Tapi pak?” Kata Atang.

“Keluar.”

“Tapi pak?”

“Keluar atau nilainya nol.”

Atang lalu keluar dari kelas.

“Pak, bagaimana saya mau mengerjakan kalau soalnya ditulis di papan tulis di dalam kelas?” Atang komplain.

Pak Guru memberikan selembar kertas yang berisi soal-soal tersebut.

“Sial...” Kata Atang di dalam hati.

Akhirnya Atang mengerjakan ujian matematika di luar kelas akibat cekikikannya tersebut.

Minggu, 07 Februari 2016

Pertemuan di Sore Itu

Masih ingat di sore yang gerimis itu
Air mata membasahi pipi ibu
Menyaksikan ayah berdiri di pintu
Yang sejenak tampak membatu
Dia memberikan kecupan pada ibu
Dan juga pelukan padaku
Kemudian dia pergi ke tempat yang jauh
Untuk membanting tulang bermandikan peluh
Selama waktu yang lama sekali
Kuharap ayah akan segera kembali

Suatu hari datanglah berita tentangnya
Awalnya membuatku sangat gembira
Tapi ternyata membuatku sangat berduka
Aku benar-benar tak menyangka
Pertemuan di sore itu adalah yang terakhir kalinya
Aku dapat melihat matanya, mendengar suaranya, mencium baunya
Ibuku menangis sejadi-jadinya
Aku bersedih sesedih-sedihnya
Kini ayah pergi untuk selama-lamanya

Sabtu, 06 Februari 2016

Mereka Bilang Disana

Mereka bilang tanah disana lebih subur daripada disini...
Mereka bilang udara disana lebih sejuk daripada disini...
Mereka bilang air disana lebih melimpah daripada disini...
Mereka bilang rumput disana lebih hijau daripada disini...
Mereka bilang makanan disana lebih banyak daripada disini...
Kalau begitu, kenapa mereka selalu kesini?

Kamis, 04 Februari 2016

Kenapa Dengan Hujan

Hujan
Turun dari langit membawa berkah
Menyirami tanah membuat bunga merekah
Pekarangan yang gersang berubah menjadi indah

Tapi
Tak sedikit yang memprotesnya
Seakan membuat sial semuanya
Mengapa mereka tidak mensyukurinya

Lupakah mereka saat musim kemarau
Dimana banyak yang menderita
Lupakah mereka saat musim kemarau
Segelas air menjadi begitu berharga
Lupakah mereka saat musim kemarau
Memohon-mohon pada-Nya dengan bercucuran air mata

Jikalau memang hujan mendatangkan bencana
Coba tanya pada diri kita
Jangan mengutuk-ngutuk berkah-Nya

Yaaa Tuhan, maafkanlah mereka
Berikanlah cahaya, bukakanlah hatinya
Limpahkanlah hidayah untuk menyadarkannya

Selasa, 02 Februari 2016

Gak Nyangka

Buah nangka kacang polong
Gak nyangka perutmu bolong

Eh Mukanya

Beli kacamata di Kemayoran
Sambil jalan-jalan sama si dia
Beli sate di dekat kuburan
Eh muka si abangnya rata

Ternyata Kamu Itu

Betapa indahnya matamu itu
Membuatku ingin terus memandangnya
Tapi sayang ternyata kamu itu
Berjalan tanpa menyentuh tanah dibawahnya

Tuan Tanah Baru

Terdengar suara tangisan dari kejauhan
Seorang ibu yang menggendong anaknya
Menyaksikan suaminya bertekuk lutut
Pada seorang lelaki berdasi merah
Yang memegang selembar kertas di tangan kirinya
Di belakangnya berdiri selusin pria berbadan kekar
Meletakkan kedua tangannya di dada
Ibu tersebut kembali menjerit
Menyaksikan suaminya ditendang
Tak sedikitpun dia sanggup melawan
Lalu pagar rumahnya dipasang tanda
Keluarga kecil itupun diusir paksa
Tanpa dipikirkan mereka akan kemana