Tuing... duaaar! Suara bom terdengar dari arah utara.
Di
sebuah desa di selatan, tiga orang pemuda berseragam coklat sedang duduk di
bawah pohon sambil membawa senapan di punggungnya.
“Bud,
loe yakin kalo pasukan kita bisa nahan itu pasukan Belanda?” Tanya Anto.
“Yakin
gak yakin kita tetep disuruh jagain ini desa.” Jawab Budi.
Beberapa
saat kemudian terdengar suara tembakan yang saling berbalas satu sama lainnya
dari arah utara.
“Ngeri
banget ya kayaknya kalo kita ke garis depan sana.” Kata Anto.
“Iya,
tapi lebih ngeri lagi malem-malem gini ini desa kayak desa mati, gak ada
penghuninya.” Kata Dodi.
Krik... krik... krik... krik... krik... suara jangkrik beserta binatang malam lainnya terdengar
ramai.
“Tolong!
Tolong! Tolong!” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah rerimbunan
pohon.
“Widih... siapa tuh cewek malem-malem gini?” Kata Anto.
“Loe
periksa sana To.” Pinta Dodi.
“Gila
loe, bisa-bisa setan tuh, takut gue ah!” Jawab Anto.
“Yaudah
kita bertiga aja kesana, sulit amat sih. Ketemu setan juga kagak bakalan mati,
kecuali kalo bawa bedil.” Kata Budi.
Mereka
bertiga menghampiri rerimbunan pohon tersebut, lalu...
Sesosok
perempuan muda muncul dengan berjalan sempoyongan, kedua tangannya menjulur ke
depan, mulutnya mengeluarkan darah, dan perutnya bolong berdarah-darah.
“Sun... sun... sundel bolooong!” Kata Budi sambil menunjuk-nunjuk.
Tanpa
basa-basi, mereka bertiga langsung lari terbirit-birit.
Tak
beberapa lama kemudian, dari rerimbunan pohon muncul seorang laki-laki
berseragam coklat sama seperti mereka bertiga.
“Eh
goblok malah lari, ini cewek korban mortir Belanda malah dikira sundel bolong.
Bukannya ditolongin, ntar keburu mati....” kata lelaki tersebut.
Perempuan
itu pun terjatuh ke tanah.
“Yah,
mati deh... bener kan. Kampret tuh mereka semua.”