Ditengah
guyuran hujan deras, Budi berlari menuju sebuah terminal bus. Dalam hiruk pikuk
orang-orang, dia melihat seorang perempuan berbaju merah di kejauhan.
“Ani...”
katanya pelan, kemudian mengeras, “Ani!”
Ani pun
menoleh mencari-cari arah suara panggilan tersebut.
Budi
segera menghampiri Ani.
“Ani...
jangan pergi, jangan tinggalkan aku.” Kata Budi sambil memegang lengan Ani.
“Tidak
bisa Budi, aku harus pergi, kamu sendiri yang menginginkan aku memutuskan ini.”
Kata Ani.
“Maafkan
aku Ani, aku tidak bermaksud seperti itu....” Mata Budi mulai mengeluarkan air
mata.
Ani
berusaha tegar supaya tidak ikut menangis, meskipun dalam hatinya marah
bercampur sedih.
“Ani...
maafkan aku, kumohon jangan pergi....”
“Tidak
bisa... aku harus pergi....” Ani tersenyum sedih.
“Kumohon
Ani....”
Ani
menempelkan tangan kanannya ke pipi kiri Budi, lalu menyeka air mata hingga
bulu mata bawahnya. Mata Budi menjadi lebih merah dan mengeluarkan lebih banyak
air mata.
“Hentikan
Budi, hentikan tangisanmu itu.”
Kedua mata Budi berkedip-kedip, terus semakin berkedip-kedip;
memerah dan mengeluarkan air.
“Budi, hentikan, itu tetap tidak akan merubah keputusanku untuk...”
“Aaaaaa!” Budi berteriak sekeras-kerasnya, “Mataku!”
Orang-orang disekitar kaget dan memandang kearah Budi.
Budi berlarian kesana kemari sambil berkata, “Air! Air!” Tapi
letak toilet terlalu jauh.
“Sialan! Panas! Apa ini!?” Kata Budi.
Beberapa saat kemudian dia melihat seorang pedagang keliling tak
jauh dari sana, lalu segera menghampiri dan mengambil sebotol air mineral,
kemudian menyiramkan ke kedua matanya.
Ani terkejut, dia melihat ujung-ujung jari tangan kanannya
berwarna sedikit jingga. Tasnya dibuka, dia mengeluarkan sebungkus makanan
bertuliskan: Keripik Ultra Pedas yang belum lama dimakannya tadi ketika dalam
perjalanan ke terminal.
“Ooops....” katanya dalam hati.
Budi pun akhirnya segera pergi ke klinik terdekat, dan Ani sendiri
segera naik ke bus dan pergi entah kemana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar