Sebuah karet gelang merah mendarat
di kepala belakang Hira. Refleks dia memegang kepala belakangnya, lalu meliuk
ke belakang mencari-cari sumber datangnya benda tersebut. Anak-anak lelaki dan
perempuan di belakangnya tampak duduk dengan tenang menulis apa yang ada di
papan tulis, begitu pula dengan yang ada di sebelah kanan dan kiri.
Beberapa menit kemudian, sebuah
karet gelang merah kembali mendarat di kepala belakang Hira. Kali ini, dia
meliuk dengan cepat sehingga berhasil memergoki pelakunya yang ternyata adalah
Resti dan gengnya.
“Uuu...
dasar sok cantik!”
“Dasar
kalian dengki!”
Balas Hira sambil membidikkan karet gelang tadi ke arah Resti.
Tanpa disadari, bu guru masuk
kembali ke kelas, “Hira,
jangan main-main!”
“Mereka
yang duluan...”
“Sudah
kamu jangan malah ikut-ikutan!”
Kata bu guru.
Resti dan gengnya cekikikan puas
melihat Hira.
***
Esok pagi, kalender hari ini
menunjukkan tanggal merah, sekolah libur. Hira mengambil sepedanya, kemudian
mengunjungi warung-warung yang berada di sekitar sambil membawa banyak kue
buatan ibunya untuk dijual.
“Semoga
semua kue itu laris hari ini.”
Kata ibunya saat Hira kembali ke rumah.
“Ayah
masih sakit?”
Tanya Hira.
“Masih.”
Hira melihat ayahnya terbaring di
tempat tidur. Dia adalah seorang guru SD. Sudah 6 bulan terakhir ini tidak
mengajar karena terkena stroke.
“Kita
masih belum punya biaya.”
Kata ibunya.
***
Sepulang sekolah, Hira bermain
badminton bersama Nina, sahabatnya, dan teman-teman yang lainnya. Resti dan
gengnya yang kebetulan melewat, memaksakan diri bergabung.
“Main
badminton saja kok pake make-up?”
Kata Resti.
“Siapa
yang pake make-up?”
Jawab Hira.
“Jangan
dengarkan dia Ra!”
Kata Nina.
“Orang
miskin begitu gayanya sok seperti orang kaya!”
Nina langsung menghentikan
permainannya, kemudian menghampiri Resti yang sedang bermain.
“Kamu
bisa diam tidak? Mengganggu teman aku saja, kenapa?”
“Eh...
Na!” Kata yang lainnya
melihat tindakan Nina.
Resti menyingkirkan ujung raket
Nina dari lehernya, “aku
tidak suka dia.”
“Kamu
tidak suka karena dengki dia memiliki paras cantik, dan kamu menganggap itu
melebihi kamu. Akui saja!”
“Dia
bergaya seperti orang kaya, padahal mis...”
Nina menempelkan kembali ujung
raketnya di leher Resti, “kamu
juga dengki karena dia selalu tampil rapi!”
“Na...
sudahlah.” Kata Hira memegang
pundak Nina.
***
Setelah bermain, Hira, Nina, dan
yang lainnya beristirahat sejenak. Langit mulai terlihat gelap.
“Semua
ini gara-gara aku, aku melibatkan kalian dalam masalah dengan si Resti.”
Nina memegang pundak Hira, “itulah gunanya sahabat, sahabat
yang baik akan membela temannya ketika mendapat ancaman.”
Hira tersenyum.
“Ummm...
Na.”
“Ya
Ra?”
“Aku
butuh bantuan....”
“Jangan
sungkan Ra.”
“Aku
ingin bisa mendapatkan uang sendiri, bagaimana caranya ya?”
Nina mengarahkan mukanya pada
Hira, “apa, memangnya kenapa
kamu ingin mendapatkan uang sendiri?”
“Untuk
biaya pengobatan ayahku, sudah 6 bulan terakhir ini dia menderita stroke,
jadinya tidak bisa bekerja.”
***
Tiga hari kemudian. Sepulang
sekolah, Hira, Nina, dan teman-teman dekatnya berkumpul di warung depan
sekolah.
“Ra,
kita punya ide untuk membantumu.”
Kata Nina.
“Membantu
apa?” Tanya Hira.
“Katanya
ingin mendapatkan uang sendiri?”
Hari Sabtu sore, mereka mendirikan
sebuah stan di alun-alun kota. Mereka menjual berbagai makanan tradisional,
termasuk aneka kue buatan ibu Hira. Makanan tersebut berasal dari masing-masing
keluarga atau kerabat mereka, seperti Nina yang menjual dodol coklat milik
pamannya.
“Na,
terimakasih atas semua ini, aku telah merepotkan kalian.”
“Santai
saja, lagipula kita semua juga mendapatkan untungnya, dan juga ada kegiatan
supaya tidak jenuh, hehehe.”
***
Selama tiga bulan ini, mereka
semua mendapatkan keuntungan yang cukup besar dari mendirikan stan tersebut.
Uang jajan pun tidak lagi meminta kepada orangtua.
Sementara itu, keajaiban
menghampiri ayah Hira, dia sembuh dari penyakit stroke-nya setelah menjalani
terapi yang diberikan oleh rekan sesama gurunya. Meski tidak benar-benar sembuh
seperti sebelum terkena penyakit tersebut, dia sudah dapat kembali bekerja.
Hira dan teman-temannya senang
sekali mengetahui kabar tersebut. Meskipun demikian, kegiatan mereka tidak
berhenti.
“Ternyata
selalu ada hikmah disetiap musibah.”
Kata Hira.
“Selalu
ada, selalu, seperti yang sekarang kita rasakan, hasil jerih payah kita.” Balas Nina.
***
Suatu sore di bulan puasa, Hira
berangkat dari rumahnya, menuju sebuah selter bus. Dari sana, bersama Nina,
mereka akan naik bus menuju sebuah restoran di pinggiran kota untuk mengadakan
buka bersama teman-teman sekelasnya.
Di tengah perjalanan, angkot yang
dinaikinya tiba-tiba mogok. Semua penumpangnya terpaksa diturunkan. Hira hendak
memberitahu Nina, tapi pulsa ponselnya habis. Dia tahu tempat penjual pulsa di
daerah tersebut, namun jalan yang biasa dilewatinya tergenang banjir, sehingga
dia harus menggunakan jalan lain yang sepi karena tertutupi pepohonan di
kanan-kirinya.
Selesai membeli pulsa, dia segera
kembali menuju jalan utama.
Dari arah belakang, sebuah mobil
sedan melaju dengan kencang, kemudian tiba-tiba berbelok ke kiri memasuki
trotoar dimana Hira sedang berjalan. Refleks Hira segera melompat ke kiri, tapi
sayang terlambat, Hira terpental hingga kepalanya membentur sebuah pohon.
***
Tuuut... tuuut... tuuut...
“Kemana
dia, apa sudah disana? Wah keterlaluan kalau begitu.” Kata Nina sambil menutup
ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul 17.30, dua puluh menit lagi adzan
maghrib berkumandang. Merasa terlalu lama menunggu, akhirnya dia pergi tanpa
menunggu Hira.
“Aku
tidak tahu, tidak ada kabar, ditelepon pun tidak diangkat, padahal kami sudah
janjian berangkat bersama dari selter itu.”
Kata Nina pada teman-teman sesampainya disana.
Selesai shalat maghrib, mereka
semua duduk-duduk di taman depan masjid.
Derrrt... derrrt... ponsel Nina
bergetar. Di layarnya terpampang nama pemanggil: Hira.
“Halo?” Kata pemanggil tersebut.
“Suaranya
bukan Hira,”
kata Nina pada teman-teman, “i
iya halo?”
“Ini
dengan Nina?”
“Iya
benar....”
Wajah Nina berubah menjadi serius,
“ayo kita ke rumah sakit!”
***
Nina seakan tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Hira sudah terbujur kaku di hadapannya. Seorang polisi yang
ada disana mengatakan bahwa pelaku penabrakannya masih dalam proses pencarian.
Salah seorang perawat mendekati
Nina, “dia meninggal karena
cedera otak serius akibat benturan keras, tapi anehnya... tidak ada darah yang
keluar, wajah dan seluruh tubuhnya rapi, bersih, dan wangi. Semula saya kira
dia artis.”
Semua teman-temannya merasa sedih
kehilangan Hira. Resti dan gengnya meminta maaf karena selama ini mereka selalu
mengganggu Hira, dan Resti mengakui kalau perbuatannya selama ini dilandasi
oleh rasa dengkinya pada Hira.
***
Seminggu setelah jasad Hira
dikuburkan, ibu Hira membersihkan kamar bekas anaknya. Saat sedang merapikan
lemari buku, dia menemukan sebuah buku catatan berwarna coklat tua dengan kover
keras. Ternyata sebuah buku catatan harian. Ibu Hira membaca dengan seksama
setiap halaman, hingga di pertengahan, terdapat sebuah catatan yang tertulis:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar