Suatu waktu, Hasta, seorang
jenderal tertinggi Kerajaan Yutun ditugasi oleh raja mengunjungi Kekaisaran
Adikara untuk belajar bagaimana Kekaisaran tersebut mengorganisir pasukannya.
Hasta pun pergi dengan ditemani beberapa petinggi kerajaan.
Sesampainya di Kekaisaran Adikara,
Hasta takjub terhadap kekaisaran tersebut yang mampu mengorganisir pasukannya
yang berjumlah sangat banyak dengan begitu teratur. Belasan kali lebih banyak
daripada negaranya. Pasukan yang ada tidak hanya berasal dari penduduk
Kekaisaran Adikara saja, tapi juga dari berbagai negara yang menjadi jajahan
atau sekutu kekaisaran; menjadikan pasukan Kekaisaran Adikara multi negara.
Dalam pandangan Hasta, tidak mudah untuk mengatur pasukan yang heterogen.
Beberapa hari kemudian, tanpa
diduga suatu kelompok pemberontak yang menginginkan pemerintahan diganti
menjadi republik, menyerang kekaisaran. Serangan pemberontak tersebut kerapkali
merepotkan karena dilakukan secara sporadis dan juga didukung persenjataan yang
cukup banyak. Hasta berkesempatan untuk menyaksikan bagaimana pasukan
Kekaisaran Adikara beraksi.
Namun Hasta merasa aneh karena
semua pasukan yang maju bertempur adalah perempuan, entah itu komandan
lapangan, pasukan infanteri, kru kendaraan lapis baja, operator artileri,
personil medis, dan yang lainnya. Sedangkan pasukan laki-lakinya hanya
menyaksikan saja jalannya pertempuran melalui televisi. Baru kali ini Hasta
menyaksikan bagaimana perempuan diterjang badai peluru senapan mesin,
dicabik-cabik granat atau roket, ditusuk bayonet, dan dihajar popor senapan.
Pemandangan tersebut membuat Hasta pusing.
Hasta bertanya kepada salah satu
Jenderal Kekaisaran Adikara, kenapa semua yang maju ke medan perang adalah
perempuan. Jenderal lelaki tersebut menjawab, “Karena negara kami sudah menerapkan sistem kesetaraan gender, apakah negaramu belum menerapkan
sistem ini jenderal?”
Hasta mengerutkan dahinya,
kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang beruban.