Jumat, 22 Mei 2015

Merpati Kristal

2 tahun sudah berlalu,
Bukanlah waktu yang sebentar,
Namun terasa seperti baru kemarin,
Hari dimana, kamu bahagia, bersama kawan-kawanmu

Kamu kenakan seragam itu,
Yang tampak elegan,
Memancarkan karisma,
Yang belum pernah kulihat dan kurasakan sebelumnya

Pagi itu,
Mentari pun menyambut,
Tanda Tuhan tersenyum,
Atas semua bakti yang telah kamu lakukan

Sebuah kertas pun diberikan padamu,
Sebagai tanda kemenangan
Tak ada yang melarangmu tuk menari-nari,
Tapi kamu tidak melakukannya,
Kamu tahu etikanya

Ohaya... aku tahu hari itu adalah hari yang sangat bahagia,
Ohaya... aku tahu hari itu seakan udara sejuk dan mentari akan terus ada,
Ohaya... aku tahu kamu pasti merindukanku,
Mengharap aku berada di sampingmu

Tapi takdirnya...
Hari itu aku tidak bisa hadir
Aku sangat menyesal,
Menyesal aku tidak bisa memberikan merpati kristal ini,
Sebagai ucapan selamatku padamu di hari itu,
Dan tanda hatiku,
Padamu di kehidupan ini.

Kamis, 21 Mei 2015

Selebrasi Keputusan

Akhirnya
Setelah 3 tahun berjalan, datanglah hari ini
Hari dimana sebagian dari mereka berpesta
Dan sebagian lainnya bersyukur
Atas satu keputusan yang diberikan pada mereka
Keputusan yang mungkin seperti hidup dan mati

Patutkah mereka berpesta seakan waktu berhenti pada hari itu saja?
Patutkah mereka berpesta seakan hari itu mereka menjadi pemenang kasta tertinggi?
Patutkah mereka berpesta seakan semuanya merasakan kebahagiaan seperti yang mereka rasakan?

Bukankah sebagai kaum yang berpendidikan
Seharusnya mereka menyadari
Bahwa tidak semua orang bisa merasakan apa yang mereka rasakan
Mengalami apa yang mereka alami

Apakah mereka tidak ingat, siapakah yang menghendaki keputusan itu datang kepada mereka?

Maka sepatutnyalah mereka berselebrasi atas keputusan itu
Dengan membagi-bagikan kebahagiaan mereka
Sebagai wujud syukur
Pada yang menghendaki keputusan itu

Minggu, 17 Mei 2015

Ingatan 17 Tahun Yang Lalu

Bulan inipun tiba...
17 Tahun yang lalu...
Dimana tragedi itu terjadi...
Ketika kekacauan membuat kengerian...
Ketika kota itu menjadi lautan api dan darah...
Ketika udara menjadi bau busuk, dan langit menjadi hitam...

Aku masih kecil saat itu...
Aku belum mengerti apa yang terjadi...
Yang aku tahu hanyalah kekacauan...
Yang aku tahu hanyalah kekerasan...

Sekali lagi, 17 tahun yang lalu...
Dimana tragedi itu terjadi...
Semuanya masih menjadi misteri...
Tidak ada kejelasan yang pasti...
Tapi yang kuharapkan saat ini adalah...
Semoga tragedi itu tidak terulang kembali....

Sekali, Kita Pernah Bersatu

Dulu, kita pernah bersatu
Membentangkan sayap, kemudian terbang tinggi ke atas awan...

Dulu, kita pernah bersatu
Menyebarkan benih-benih cinta...

Dulu, kita pernah bersatu
Menyuburkan tanah yang tandus...

Dulu, kita pernah bersatu
Menebarkan senyum dan tawa untuk menghilangkan kesedihan...

Dulu, kita pernah bersatu
Menyegarkan udara yang pengap...

Dulu, kita pernah bersatu
Dalam cita-cita, harapan, impian, kebersamaan, kreativitas, perjuangan, persahabatan, dan tekad...

Dan masa itupun tiba...
Dimana semuanya terjawab
Atas semua yang telah kita lakukan...
Kesimpulan pun muncul
Yang belum pernah aku, dia, kamu, kita, dan mereka duga...

Kini aku sadar, tidak ada keabadian dalam hal apapun di dunia ini...
Suka ataupun tidak suka
Semuanya bisa berubah...
Ada satu hal diluar jangkauan manusia
Yaitu kehendak Tuhan

Jadi...
Semua itu telah menjadi masa lalu...
Sekali, kita pernah bersatu....

Terkadang

Terkadang, dalam keramaian aku merasa sepi...
Terkadang, di negeri sendiri aku merasa asing...

Terkadang, mereka yang tersenyum seakan cemberut...
Terkadang, mereka menusuk punggungku setelah aku membalas salam mereka...

Terkadang, mereka memusuhiku ketika aku berteman dengan mereka...
Terkadang, mereka menyuruhku memusuhi temanku sendiri...

Terkadang, mereka menyuruhku memusuhi orang yang tak kukenal...
Terkadang, mereka menyuruhku berteman dengan orang yang memusuhiku...

Terkadang, mereka menyuruhku naik ke kapal ketika aku sedang terombang-ambing di lautan...
Terkadang mereka menendangku keluar dari kapal ketika aku sudah naik...

Terkadang aku mengerti...
Terkadang aku tidak mengerti....

Kamis, 14 Mei 2015

Ingatkah Kamu?

Ingatkah kamu ketika masih duduk di singgasana itu?
Ingatkah kamu bagaimana bisa sampai kesana?
Ingatkah kamu bagaimana bertahan disana sekian lamanya?

Kamu berkata kalau kamu telah lupa...
Atau kamu pura-pura lupa?

Minggu, 03 Mei 2015

Pelari Rel Kereta Api

Di malam Minggu yang cerah ini, kawan-kawanku, yaitu Didin, Indra, dan Rizal mengajak untuk nongkrong. Katanya Indra akan membawa banyak jagung untuk dibakar, oleh-oleh kemarindari pamannya.

Rumah kami terletak di desa yang membentang disepanjang perlintasan rel kereta api. Menjadikan suaranya yang bising begitu akrab dengan kami.

Rizal lebih dulu tinggal disini, diikuti Didin, aku, dan Indra. Jadi Rizal lebih tahu banyak tentang desa ini.

***

Apa kalian ingin tahu cerita mistis di daerah ini? Tanya Rizal.

Tentu, kamu lebih tahu dari kami, ceritakanlah.Jawab Didin.

Rizal mengunyah jagung bakar di mulutnya, Di kampung sebelah sana kan ada perlintasan rel kereta api yang tidak bisa dilalui mobil, sebenarnya dulu itu bisa, tapi kemudian ditutup setelah ada kejadian...

Kejadian apa?Tanya Indra.

Satu keluarga meninggal setelah mobil yang ditumpanginya tertabrak kereta yang melintas. Kalau tidak salah ada 5 orang; ayah, ibu, dua orang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki.

Kejadiannya terjadi sekitar pukul 3 dini hari. Waktu itu belum ada yang berjaga melewati pukul 12 malam.

Mobil tersebut ditutup rapat, dan kemungkinan di dalamnya mereka sedang memutar musik, sehingga suara dari luar tidak terdengar. Akibatnya, ketika mereka melintas, mereka tidak menyadari ada kereta yang datang, dan...

Maut pun datang menjemput.

Itu terjadi 3 tahun sebelum aku pindah kesini.

“Berarti sudah lama sekali berlalu. Jadi apa cerita mistisnya? Tanyaku.

Beberapa hari setelah kejadian itu, banyak warga yang mengaku sering mengalami kejadian ganjil, seperti mendengar teriakan minta tolong, padahal malam itu tidak ada seorangpun, dan kejadian-kejadian lainnya. Ya...sama dengan cerita-cerita mistis yang berhubungan dengan kecelakaan kereta api.

Cerita mistis, obrolan favorit para pemuda, selain tentang percintaan. Menurut mereka, obrolan tersebut memberikan energi. Maklumlah, darah muda, darahnya para remaja.

Tak terasa waktupun sudah berjalan sekitar satu jam, jam tangan menunjukkan pukul 23.00. Kami memutuskan untuk bubar.

Whuuuz!

Ketika sedang beres-beres, kami dikagetkan oleh Didin yang setengah berteriak, Wei! Siapa itu yang berlari malam-malam begini, ayo kita kejar! Tangannya menunjuk ke arah kegelapan, samar-samar terlihat seseorang sedang berlari ditengah rel.

Aku, Didin, dan Indra segera mengejarnya.

Orang itu berlari cukup cepat. Indra mencoba menahannya dari samping, tapi gagal, dia kalah tenaga. Didin yang berbadan lebih besar, memeluk badannya dari belakang, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke tanah di pinggiran rel.

“Ah sial, lumayan sakit! Rintih Didin.

Pasti sakit hehehe... tapi caramu menjatuhkan, seperti seorang professional. Darimana kamu belajar itu? Tanyaku.

Pamanku... dia... dia seorang polisi. Cepat bantu aku berdiri!” Jawab Didin.

Orang tadi tidak sadarkan diri. Dia seorang bapak-bapak, berusia sekitar 40 tahunan. Kami memutuskan untuk membawanya ke rumah Rizal.

***

Pagi ini, bapak itu telah siuman. Dia sedang mengobrol di ruang tamu, bersama Didin, Indra, dan Rizal, disertai kopi dan pisang goreng. Bapak itu bernama Rusman.

Jadi semalam saya mau mancing, terus saya melihat ada kereta yang sedang diam. Saya merasa aneh, kok orang-orang di dalamnya tidak terlihat, termasuk masinis di lokomotifnya.” Kata Pak Rusman.

Karena penasaran, saya pun naik ke kereta itu. Begitu saya naik, kereta segera melaju.

Rokoknya dihisapdalam-dalam.

Di gerbong yang saya naiki, tidak ada siapa-siapa, kemudian saya masuk ke gerbong di depannya, dan...

Kami semua semakin antusias mendengar ceritanya.

Disana berjejer penumpang. Ya penumpang seperti umumnya, tapi mereka menunduk semua. Mukanya ada yang ditutupi koran, majalah, sarung, topi, dan yang lainnya.

“Ketika saya mendekati mereka, ada yang menepuk dari belakang, ternyata  kondektur. Tapi dia juga sama, kepalanya menunduk. Tangannya dijulurkan pada saya, tanda meminta karcis.

Disitu saya tegang, saya sadar telah menjadi penumpang gelap. Saya berniat kabur, tapi ketika melihat keluar, kereta sudah melaju kencang, mungkin sekitar 80 kilometer per jam.

Saya bilang, maaf pak saya tidak punya tiket. Dan saat itulah jantung saya serasa mau copot. Mata Pak Rusman melotot pada kami.

Kenapa tuh pak? Tanya Rizal.

Si kondektur itu mengangkat mukanya, mukanya itu...

Kami menelan ludah. Bulu kuduk mulai berdiri.

Mukanya itu aneh sekali, kulitnya seperti manusia biasa, tapi tidak ada mulut dan hidungnya; matanya dua, bulat besar berwarna merah. Telinganya lancip.

Karena kaget sekali, spontan saya langsung meloncat ke belakang. Kepala saya membentur lantai, disitulah saya tidak sadarkan diri.

Semuanya terpaku tegang. Tanpa terasa, keringat dingin sudah membasahi tubuh.