Senin, 30 Maret 2015

Suvenir Nilam

Pagi itu adalah pagi yang cerah. Orang-orang sibuk memulai aktivitasnya. Jalanan dipenuhi oleh hiruk pikuk kendaraan dan manusia yang berlalu lalang kesana kemari. Semuanya berjalan dengan tertib dan damai.

Namun dalam satu gedung kecil, sepertinya pagi itu bukanlah pagi yang damai. Hawa panas terasa menyebar ke seluruh bagian gedung. Di sebuah ruangan, duduklah seorang laki-laki muda yang sedang dimarahi oleh seorang perempuan berusia 40 tahunan.

"Kamu ini bagaimana, saya kan sudah bilang kalau akta yang untuk Pak Beni itu jangan langsung dicetak, harganya masih belum pasti!"

"Maaf Bu, bukannya kemarin sebelum ibu berangkat, ibu bilang langsung cetak saja yang punya Pak Beni."

"Kapan saya berbicara seperti itu? Saya tidak merasa berbicara seperti itu. Ah kamu ini jangan sok tau, ikuti apa yang saya suruh, saya kan Bos kamu!"

"Iya Bu maafkan saya, saya salah."

Setelah selesai dimarahi, laki-laki tersebut kembali ke meja kerjanya.

"Ssst... sebenarnya kemarin, aku juga mendengar si Ibu nyuruh kamu untuk mencetak Akta Pak Beni, bukannya aku tidak mau membantu jadi saksi, tapi kamu tau sendiri kan kalau Bos selalu benar, jangan disanggah." Kata Bayu sambil berbisik.

"Tidak apa-apa, seperti yang pernah kukatakan, menghadapinya harus dengan penuh kesabaran." Jawab Farid.

***

Waktu pun menunjukkan jam 12 siang, waktunya istirahat. Hari itu hanya Bayu dan Farid saja yang bekerja, dua rekan kerja perempuan mereka, Desi dan Rima izin absen dikarenakan ada keperluan.

Ketika sedang makan siang, tanpa sengaja Farid menyenggol gelas disampingnya. Mendengar suara gelas pecah, sang pembantu, Mimin dengan sigap langsung masuk ke ruang makan.

"Waduh ada gelas pecah, jangan bergerak kang, saya ambil sapu dulu."

"Sepertinya hari ini kamu memang sedang tidak baik." Kata Bayu.

"Sial." Farid menundukkan mukanya.

Selesai makan dan shalat Dzuhur, mereka mengobrol dengan Mimin di dapur.

"Hari ini kalian bisa santai, karena Ibu sedang pergi, pulangnya nanti malam." Kata Mimin.

"Dan ngomong-ngomong, kayaknya tadi pagi Kang Farid dimarahi Ibu ya?"

"Ya, biasalah..."

"Ya biasalah, Bos selalu benar walau sebenarnya beliau yang salah," Bayu memotong pembicaraan, "mbak juga pernah cerita kan."

"Ooo... sabar ya kang Farid."

"Eh, kalian belum pernah masuk ke rumah Ibu ya?" Tanya Mimin.

"Belum, memangnya kenapa gitu mbak?" Tanya Farid.

"Saya mau nunjukkin kalian sesuatu."

"Tapi kan kita haram memasukinya." Kata Bayu.

"Disini hanya ada kita bertiga, maka saya halalkan, hehe. Supaya kalian tahu seperti apa Ibu itu. Ayo, mumpung ada waktu setengah jam sebelum kantor dibuka kembali. Eh... tapi jangan cerita ke Ibu ya."

Rumah Bos terletak tidak jauh di belakang gedung yang menjadi tempat kerjanya, hanya dipisahkan oleh sebuah gang sempit.

"Wuih, ternyata si Ibu punya baju yang banyak sekali. Baru sekarang aku melihat baju sebanyak ini, untuk sendirian lagi. Kayaknya ini dari baju lama sampai baru, lengkap semua ya mbak?" Kata Bayu.

"Iya Kang, waktu pertama kali saya disuruh nyuci oleh Ibu, saya juga kaget sama baju-bajunya yang banyak sekali. Kalau menurut saya sih, baiknya baju-baju yang lama dikasih aja kepada yang membutuhkan, soalnya saya lihat udah jarang dipake."

"Ya benar." Kata Bayu.

"Mbak, ini lemari apa ya." Kata Farid, menunjuk ke lemari besar dan tinggi berwarna hitam.

"Buka aja Kang."

Ketika dibuka, lemari tersebut menyimpan banyak suvenir, piagam, dan piala yang banyak.

"Itu milik Ibu semua, pokoknya dari awal dia punya dia simpen disitu," kata Mimin, "pialanya juga banyak kan, itu dari waktu dia masih SMA sampai kuliah. Cenderamata dan piagamnya juga."

"Semacam tanda kebesaran dan prestasi." Kata Farid.

Setelah melihat-lihat, Farid mengambil sebuah miniatur menara yang diatasnya terdapat batu nilam.

"Nah kalau ini cenderamata atau apa ya, kenapa tidak ada keterangannya sama sekali, yang lainnya ada?"

"Oh itu saya juga gak tahu Kang. Saya gak berani nanya ke Ibu. Memang itu berbeda dari yang lainnya. Kalo gak salah itu sudah ada disana sejak dua tahun yang lalu." Jawab Mimin sambil memasang seprai baru ke kasur.

"Sebelumnya cenderamata tersebut Ibu simpen di kantor, tepatnya di ruangan Ibu."

"Hmmm... oh saya belum pernah cerita ya, waktu itu pernah ada pegawai sini yang namanya Neng Dian. Dia di sini lebih lama dari saya, kerjanya juga bagus, dia jadi asistennya Ibu. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja dia mengundurkan diri."

"Sempat ditolak oleh Ibu, namun Neng Dian terus memaksa hingga terjadi pertengkaran kecil. Pada akhirnya Ibu mengabulkan permintaan Neng Dian. Duh sampai sekarang saya belum pernah kontak lagi dengan dia. Saya juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja dia berhenti."

"Keluarnya Neng Dian itu diikuti oleh tiga orang rekannya yang seangkatan, saya lupa namanya siapa aja, tiga minggu setelahnya. Aneh kan? Sama seperti Neng Dian, memaksa gitu. Jadi Ibu nyari pegawai lagi."

"Tapi mereka semua juga keluar. Padahal setelah Neng Dian keluar, pemasukan bertambah besar, karena klien semakin banyak. Bukan hanya itu, Gaji pegawai, termasuk saya juga dinaikkan. Ibu dan Bapak juga beli mobil baru, anak-anaknya dikasih motor bagus, terus kantor yang sekarang kalian tempati dipugar lagi jadi bagus seperti itu. Pokoknya setelah Neng Dian keluar, ada perubahan drastis."

"Kalian semua, termasuk Desi dan Rima, adalah pegawai angkatan ketiga setelah Neng Dian keluar."

"Angkatan ketiga? Berarti dalam rentang waktu dua tahun ini, sudah gunta-ganti pegawai," kata Farid, "kok sampai seperti itu ya, saya baru tahu."

Tak lama kemudian, terdengar bel kantor berbunyi, tanda ada tamu yang datang. Bayu dan Farid segera menuju ke kantor.

***

Sore itu Desi dan Rima membawa dua keresek hitam yang cukup besar kedalam kantor.

"Beuh, itu keresek pasti isinya makanan. Tadi kalian nongkrong-nongkrong dulu ya, terus belanja?" Kata Bayu, "Lama sekali beli pulsanya."

"Ya begitulah, hehehe...ayo kita santap lumpia basah ini, mumpung gratis, kapan lagi saya baik seperti ini ngasih makanan cuma-cuma. Rim, keluarkan isinya." Kata Desi.

"Wah lumpia basah, tapi tidak enak kalau makannya harus terburu-buru, nanti Bos keburu pulang." Kata Farid.

"Tenang saja, barusan Ibu meng-SMS saya, katanya kalau setelah menghadiri rapat di hotel, dia akan kerumah adiknya dulu, itu artinya Bos pasti pulangnya sore sekali atau malam." Kata Rima.

Bayu terlihat kelaparan, "Yasudah kita santap saja sekarang!"

Setelah makan-makan, ponsel Rima berbunyi, layarnya menunjukkan panggilan dari Bos. Suasana menjadi hening.

"Ibu meminta tolong kita untuk menunggu di kantor hingga jam 7-an, soalnya tidak ada siapa-siapa. Mbak Mimin sedang sakit, Bapak sedang diluar kota, sedangkan anak-anaknya kan kerja diluar kota juga."

Satu persatu mereka menyatakan tidak bisa berada di kantor hingga malam tiba karena berbagai alasan, hingga tersisa Farid.

"Yasudah biar saya saja yang ngeronda, haha."

Jam pun menunjukkan pukul 4 sore. Bayu, Desi, dan Rima segera membereskan kantor, kursi-kursi diluar dimasukkan kedalam, tanda 'Buka' diganti ke 'Tutup'. Kemudian mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Tinggal Farid sendirian. Sambil menunggu waktu berlalu, dia bermain game di ponselnya.

Karena mengantuk, tanpa disadari dia tertidur di mejanya.

Diluar, hujan mulai turun dengan perlahan.

***

"Duar!"

Guntur yang keras membangunkan Farid. Dia melihat jam dinding menunjukkan pukul 5 sore, tapi hari sudah gelap. Awan hitam menutupi cahaya matahari sore. Hujan turun dengan derasnya.

Merasa lapar, dia berniat jajan di warung yang terletak di belakang kantor, berdekatan dengan rumah Bos.

Farid memasuki gang yang membatasi rumah Bos dan kantor. Belum sampai tiga meter berjalan, dia menghentikan langkahnya. Terdengar suara kaca pecah dari dalam rumah Bos. Tak hanya itu, terdengar pula suara pintu dipukul. Setelah itu, semuanya sunyi kembali oleh suara hujan.

Farid merasa ada yang tidak beres didalam rumah Bos. Dia memutuskan untuk masuk kedalam.

Dia mengambil sebatang pipa besi bekas, lalu masuk kedalam rumah melalui kaca ventilasi belakang yang dia bongkar. Jendela tersebut menuju ke gudang.

Di dalam, dia langsung pasang posisi siap memukul dengan pipa besi di tangannya. Matanya tajam mengarah ke segala penjuru rumah.

Setelah menjelajahi isi rumah, dia tidak mendapati seorangpun di dalamnya, juga tidak ada tanda-tanda orang yang masuk, kecuali dirinya sendiri.

Di ruang keluarga, dia menemukan foto-foto yang dipasang di dinding berjatuhan.

"Duak!" Tiba-tiba terdengar suara pintu dipukul dari arah kamar Bos.

Jantung Farid berdegup kencang. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Wajahnya merah tegang. Dia semakin menggenggam erat pipa besi di tangannya.

Duk... duk... duk...

“Duk... duk... duk... duak! Kini bunyi tersebut kembali terdengar. Lagi dan lagi lebih sering.

Farid mendekat ke arah kamar. Dia menendang pintunya, tapi... tak ada seorangpun di dalamnya.

Matanya langsung tertuju ke arah lemari besar dan tinggi berwarna hitam yang menyimpan suvenir, piagam, dan piala milik Bos.

Dan yang membuatnya terkejut dengan mata terbuka lebar adalah...

Lemari tersebut bergetar-getar hebat seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalamnya.

“Brak!” Lemari itupun terbuka.

Sebuah kabut berwarna hitam keluar dari dalam lemari tersebut. Membuat isinya tidak terlihat.

Ketakutan, Farid berniat segera pergi dari kamar itu, namun entah kenapa badannya menjadi kaku, dia berdiri mematung, terus menatap ke arah lemari. Mulutnya masih bisa dia buka untuk berteriak, tapi tidak ada sedikitpun suara yang keluar. Matanya tampak ketakutan sekali.

Saat itu pikirannya teringat kepada cerita Mimin tentang Neng Dian dan pegawai-pegawai lainnya yang memutuskan berhenti bekerja disini secara aneh; juga dengan suvenir nilam yang dia lihat waktu siang itu.

Dalam hatinya dia bertanya-tanya, mungkinkah Mimin sudah mengetahuinya, tapi dia pura-pura tidak tahu, sehingga tidak menceritakan padanya, juga pada pegawai yang lain?

Tapi Mbak Mimin adalah orang yang ramah, dan murah hati. Dia tidak susah diajak berbicara, apalagi bercerita.Katanya dalam hati.

Kemudian terdengar suara bisik-bisik dari belakang. Suara tersebut terus membesar dan membesar hingga seperti orang yang setengah berteriak.

Baru saat itulah Farid dapat menggerakkan tubuhnya.

Dan ketika dia melihat apa yang ada dibelakangnya.

Sesosok tubuh raksasa berwarna hitam pekat telah menunggunya. Begitu tinggi hingga kepalanya menyentuh atap. Wajahnya sama hitam pekat dengan tubuhnya. Matanya bulat besar berwarna merah menyala. Tanpa hidung, mulut, dan telinga.

Kali ini Farid tidak dapat mentolerir rasa takutnya lagi. Dia langsung terjatuh ke lantai dan pingsan.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu, Farid tidak masuk kerja sampai seminggu karena demam. Kemudian, dia memutuskan untuk berhenti bekerja. Keputusannya itu menimbulkan tanda tanya besar diantara Bayu, Desi, dan Rima.

Permintaan pengunduran diri tersebut ditolak Bos karena melanggar kontrak kerja. Namun dengan usaha yang gigih, akhirnya permintaan Farid diterima.

Setelah Farid pergi, dua bulan kemudian, secara serentak Bayu, Desi, dan Rima meminta mengundurkan diri secara paksa, yang membuat keributan dengan Bos. Pada akhirnya mereka bertiga pun angkat kaki.

Kekosongan pegawai, kantor tersebut berhenti beraktivitas, dan tak lama kemudian tutup.

Belakangan terdengar kabar bahwa Bos mengalami gangguan jiwa dan menderita penyakit aneh yang tidak bisa dijelaskan secara medis. Hingga akhirnya meninggal dunia. Suami beserta anak-anaknya juga dikabarkan mengalami gangguan dari makhluk halus sehingga memaksa mereka untuk pindah rumah. Setelah pindah, bangunan dan rumah tersebut dibiarkan kosong begitu saja tanpa ada yang mengurus.

Setelah berhenti bekerja di keluarga Bos, Mimin diterima bekerja di sebuah usaha penatu temannya. Tapi tepat dihari pertama dia bekerja disana, malam harinya dia meninggal dunia akibat terjatuh kedalam sumur.

Senin, 16 Maret 2015

Operasi Vampir

Seorang laki-laki berusia sekitar 18 tahunan berjalan cepat menuju sebuah rumah kontrakan yang berukuran kecil. Wajahnya tampak sedikit tegang.

Setelah mengetok pintu rumah, seorang laki-laki menyambut sambil menjabat tangannya, “Aha, kamu pasti Danur itu, selamat datang di kelompok ini. Mari masuk, kita mengobrol di dalam.”

Lelaki tersebut menyalakan sebatang rokok sambil menawarkannya pada Danur.

“Terimakasih master Geri.” Kata Danur sambil menerima rokok tersebut.

“Aku tahu kamu sudah banyak mendengar tentang kami, dan aku pun sudah mengetahui tentang dirimu, pengalamanmu sebelumnya lumayan, jadi malam ini kita langsung kerja. Semoga kamu menjadi pengganti yang baik.”

“Siap!” Jawab Danur.

“Sebelum kita berangkat, minum dulu ini, untuk memperlancar,” kata Geri sambil menyodorkan satu bungkus plastik yang berisi pil-pil berwarna putih, “dan simpan saja motormu disini.”

Tengah malam itu, mereka berdua berboncengan mengendarai sepeda motor, menyusuri jalanan kota yang gelap.

Mereka sampai di sebuah jalan yang sepi dan minim penerangan. Di sebelah kanan terdapat sungai yang cukup besar, dan pinggiran jalan tersebut dipenuhi rerumputan yang tinggi.

“Itu dia, kita dapat mangsa.” Kata Geri menunjuk ke seorang pengendara sepeda motor perempuan yang sendirian melintasi jalan tersebut. Dari pakaiannya terlihat seperti pegawai Bank.

Geri turun dari sepeda motornya dan memberikannya pada Danur. Dia mengawasi Danur dari pinggir jalan.

Suara sepeda motor Geri yang lebih halus, membuat perempuan tersebut tidak menyadari kalau Danur sedang membuntutinya.

Pipa besi dipukulkan ke tangan kanan perempuan tersebut, dia langsung terjatuh. Mencoba berteriak, Danur langsung membekapnya, kemudian memukul kembali kedua tangan dan kakinya, membuatnya lumpuh sementara.

Danur menyeretnya ke samping jalan, menyembunyikannya di semak-semak.

Geri segera datang dan mengambil sepeda motor milik perempuan tersebut, “Ambil tasnya, cepat!”

Danur berhasil mengambil uang senilai 200 ribu Rupiah dan sebuah ponsel. Setelah itu dengan cepat mereka pergi menuju kegelapan malam.

***

Kembali di rumah kontrakan tadi.

“Tidak buruk bung, 200 ribu dan sebuah ponsel,” kata Geri sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, “tadi kamu apakan dia, sepertinya perempuan itu masih hidup.”

“Hanya memukul untuk membuatnya lumpuh sementara. Aku juga membekapnya, dengan sedikit cekikan di lehernya supaya dia tidak sadarkan diri.” Jawab Danur.

Mereka berdua melakukan pesta kecil-kecilan merayakan keberhasilan kerja malam itu dengan membeli minuman keras, rokok, dan kacang rebus.

***

Sebulan berlalu, mereka berdua telah pindah ke kota tetangga.

Di rumah kontrakan barunya, Geri memperkenalkan seseorang yang belum pernah Danur kenal, “Danur, kita kedatangan anggota baru, dia sudah cukup berpengalaman, namanya Raga.”

Danur dan Raga saling bersalaman.

“Seperti ketika pertama kali Danur bergabung denganku, maka malam ini juga kita langsung kerja. Raga, aku dan Danur akan mengawasimu, tapi nanti Danur yang akan mengambil motornya.” Kata Geri.

“Dimengerti.” Jawab Raga.

Sebelum mereka bertiga mulai meluncur, seperti biasanya, Geri mengeluarkan sebungkus plastik yang berisi pil-pil berwarna putih, “Semoga kita menjadi tim yang solid,” katanya, “dan mari kita namai kerja malam ini dengan nama Operasi Vampir, hehehe... keren kan?”

Raga mengendarai sepeda motornya sendiri, sedangkan Danur dan Geri berboncengan.

Di sebuah jalan belakang gedung sekolah, mereka menemukan pengendara sepeda motor yang berboncengan, laki-laki dan perempuan.

“Pulang kencan tengah malam seperti ini, menggiurkan sekali,” kata Geri, “Raga, ayo!”

Raga segera memepetnya, lelaki yang mengendarainya bereaksi dengan memacu motornya lebih cepat. Raga mengeluarkan sebilah pedang Katana-nya, kemudian dia sabet ke tangan kanan lelaki tersebut. Tak cukup disitu, dia menusukkan pedangnya ke arah perut kanan.

“Sadis sekali, sepertinya dia tidak pernah berbelas kasihan dengan mangsanya.” Kata Geri.

Setelah terjatuh, lelaki tersebut berusaha berteriak memanggil pertolongan, tapi Raga langsung membekap dan menusukkan pedangnya ke perut kiri.

Perempuan yang diboncengnya segera bangkit dan mencoba lari. Refleks, Raga menyabet kakinya hingga terjatuh, kemudian menusukkan pedangnya ke punggung sambil menginjak kepalanya, membuat perempuan tersebut tidak bisa berteriak. Pedang Raga penuh dengan darah segar.

“Ayo cepat bergerak Dan!” Kata Geri pada Danur.
Setelah Raga mengambil beberapa barang-barang berharga, Danur datang. Namun sebelum mengambil sepeda motornya, dia penasaran dengan kedua mangsa mereka malam itu yang sedang sekarat.

“Begitu buasnya, akupun belum pernah sampai membunuh.” Kata Danur dalam hatinya.

Danur mendekati perempuan tadi yang sedang sekarat. Dari sorot matanya memandang perempuan tersebut, dia seperti mengenalnya. Setelah dia membalikkan badannya, matanya terbuka lebar, terkejut.

“Rini!” Kata Danur dengan keras.

“Pam... Dan... ur?” Jawab Rini terbatuk-batuk, mulutnya mengeluarkan darah segar.

“Dan, apa yang kamu lakukan, cepat ambil motornya,” kata Geri, “kamu bisa membuat operasi ini gagal!”

Tak lama kemudian pandangan Rini menjadi kosong, dia berhenti bergerak. Matanya tetap terbuka menatap Danur.

“Rini, Rini!” kata Danur sambil menangis.

“Siapa dia Dan?” Tanya Geri.

“Dia keponakanku!” Jawab Danur.

Jumat, 06 Maret 2015

Tetangga si Hamdan

Pagi ini hujan turun dengan deras. Suara petir terdengar saling bersahutan. Tak ada sinar mentari yang mencapai tanah, terhalang oleh awan-awan pucat.

Sekarang ini negara sedang dilanda krisis ekonomi yang cukup serius. Banyak rakyat yang menderita, tak terkecuali aku dan tetangga-tetanggaku. Pengangguran menyebar luas. Mereka yang memiliki lahan pertanian sebagai sumber makanan, mengalami paceklik akibat gagal panen yang disebabkan oleh cuaca buruk dan hama.

Hujan yang deras tersebut tidak berlangsung lama. Menjelang pukul 10, hujan berhenti, dan cahaya matahari mulai terlihat. Aku keluar untuk membersihkan selokan di halaman belakang yang tersumbat oleh sampah-sampah bawaan banjir. Pak Aydin tetanggaku, sama-sama membersihkan selokannya yang juga tersumbat.

Tak lama kemudian, Ibuku datang sambil membawa sebuah karung besar.

"Fiuh, Alhamdulillah dapat sekarung jagung segar dari Paman Deni." Kata ibuku.

Paman Deni adalah adik Ibuku yang sekarang tinggal di luar pulau. Beliau memiliki kebun jagung yang cukup luas. Kondisi di sana lebih baik dibandingkan di sini. Lebih mendukung untuk bercocok tanam.

Ibu kemudian membagi jagung-jagung tersebut menjadi setengah; kemudian setengah itu dibagi lagi menjadi dua. Masing-masing untuk Pak Aydin dan tetanggaku yang lain, Pak Samitra.

Tapi Pak Samitra dan keluarganya sedang tidak ada dirumah.

"Pak Mitra sedang tidak ada dirumahnya Bu, kemarin beliau pergi bersama keluarganya. Beliau juga menitipkan rumahnya pada saya." Kata Pak Aydin.

Selang beberapa menit kemudian, datang sebuah mobil minibus berwarna perak, itu adalah Pak Samitra.

"Pak Mitra, ini ada jagung buat keluarga. Barusan saya dapat kiriman dari adik. Maaf ya Pak hanya bisa ngasih segini." Kata Ibuku sambil memberikan sekeresek jagung tadi.

"Ah tidak apa-apa Bu Karim, terimakasih banyak." Balas Pak Samitra.

Pak Samitra dan istrinya masuk ke dalam rumah. Disusul anak laki-laki dan perempuannya berlari kecil sambil membawa beberapa keresek besar.

***

Sekarang keadaan kami semakin buruk. Sejak seminggu yang lalu Paman Deni tidak bisa mengirimkan hasil panennya lagi. Katanya hama mulai merambat ke daerahnya; selain itu naiknya harga bahan bakar minyak yang melambung tinggi membuat banyak harga bahan makanan meroket; termasuk membuat biaya pengiriman antar pulau menjadi sangat mahal. Biaya sekolah ketiga anaknya juga ikut naik. Paman Deni sangat bergantung pada hasil taninya.

Televisi memberitakan tentang terbongkarnya satu kasus korupsi yang merugikan negara hingga ratusan miliar Rupiah.

"Mamah tidak pernah mengerti kenapa mereka sampai korupsi sekian besarnya. Padahal hidup mereka sudah lebih dari lebih." Kata ibuku dengan nada tinggi.

"Mereka memang salah, tapi permasalahannya begitu rumit," kata Ayahku sambil meminum kopinya, " untuk mengetahui yang pastinya, kita harus tahu dulu kehidupan mereka seperti apa."

"Ah tidak ada alasan apapun, itu hanya nafsu mereka saja. Sudah jelas itu salah, uang negara ya uang rakyat, memangnya itu uang dari mana? Tidak ada toleransi lagi," jawab ibuku dengan wajahnya yang teramat kesal, "setiap kali diketemukan, mereka selalu banyak berakting supaya tidak dinyatakan bersalah. Bukan hanya satu-dua orang, tapi setiap mereka yang diketemukan korupsi selalu seperti itu, apa itu tidak aneh Pah?"

"Yap, wajah mereka juga ngeyel dan pura-pura tidak merasa bersalah, mungkin mereka belum merasakan yang namanya ditonjok, hehehe..." jawab ayahku sambil bercanda, “lagipula, mereka kan lebih jago aktingnya daripada para aktor dan aktris.”

Aku mendengar suara mobil dari halaman belakang. Ternyata Pak Samitra. Mereka membawa beberapa keresek dan karung yang terisi penuh. Tidak tahu pasti apa isinya itu, tapi sepertinya bahan-bahan makanan.

"Tok-tok-tok!" terdengar suara ketukan dari pintu belakang. Ibu menyuruhku membukanya.

"Assalamu'alaikum dek Hamdan, ini ada oleh-oleh buat sekeluarga. Maaf jika saya memberikannya sedikit." Kata Pak Lutfi sambil memberikan sekeresek ubi manis. Pak Lutfi adalah tetanggaku yang berposisi disebelah kiri rumah Pak Samitra. Membuatnya agak jauh dariku dan Pak Aydin.

Aku langsung menyimpan sekeresek ubi tersebut di dapur.

"Alhamdulillah Yaa Allah kami dikasih tetangga yang baik-baik," kata Ibuku, "jadi malu, padahal Pak Lutfi rumahnya agak jauh, tapi dia suka ngasih ke kita, eh kita malah seringnya ngasih ke Pak Aydin sama Pak Samitra."

"Yah gak apa-apa Bu, ini rezeki. Kita kasih dulu ke yang paling dekat, ntar kalau masih ada, kita kasih ke yang berikutnya. Bertahap lah, nanti kalau acak, kesannya kan jelek Mah." Kata Ayahku.

"Iya deh Pah." Jawab Ibuku.

***

Esok malam, aku mencium bau masakan dari luar. Aku mencoba menebak-nebak arahnya dari mana. Ternyata dari rumah Pak Samitra.
Baunya sangat tajam. Pasti masakannya juga lezat. Perutku menjadi keroncongan. Sejujurnya aku merasa sangat lapar. Hari ini aku hanya makan sepiring nasi dengan telur dadar.

Terdengar bebunyian dari alat-alat makan. Sepertinya mereka sekeluarga sedang makan bersama, tapi kali ini terdengar lebih ramai. Suara air yang dituangkan ke dalam gelas. Oh, air liurku menjadi keluar membasahi mulutku.

Hati kecilku berharap mereka mau membagikan sebagian makanannya padaku. Tapi ya sudahlah tak apa. Mungkin mereka mengira kami sudah tidur.

***

“Braaak!”

Suatu hari, suara yang keras membangunkanku dari tidur siang yang nyenyak. Kuperiksa seisi rumah, tidak ada yang aneh. Ayah, Ibu, dan adik perempuanku sedang tidak berada dirumah.

Melihat ke halaman depan tidak terjadi apa-apa; tapi ketika melihat ke halaman belakang, baru kutahu suara tadi berasal dari sana.

Menara tangki air milik Pak Samitra rubuh dan menimpa genting rumahnya. Tangkinya tembus hingga masuk kedalam rumahnya. Tidak ada tanda-tanda kalau Pak Samitra dan keluarganya sedang berada di rumah.

Terlihat Pak Aydin sedang menyapu halaman rumahnya.

"Pak, itu menara tangki air Pak Samitra rubuh, apa bapak tidak melihatnya, kita beritahu Pak Samitra, atau bagaimana?" Tanyaku pada Pak Aydin.

"Iya saya tahu," jawab Pak Aydin sambil tersenyum, "tapi saya ada kesibukan." Kemudian beliau masuk ke dalam rumahnya.

Begitu pula Pak Lutfi yang sedang mengelap mobil baknya. Beliau mengetahuinya, tapi langsung berangkat dengan mobilnya, katanya di pasar ada barang yang harus segera diantar.

Aku melihat tetangga yang lain. Pikirku, mereka pasti mendengar suara tadi. Tapi mereka tampak dingin-dingin saja. Mau memberitahu Pak Samitra, tapi aku tidak tahu nomor teleponnya.

Ah ya sudahlah,tunggu saja hingga Pak Samitra tahu. Banyak saksi mata, tinggal dijelaskan saja kepada beliau bagaimana kejadiannya.

Hingga pukul 17.30-an, kuperhatikan tidak ada seorangpun yang mendekati rumah Pak Samitra.

Ketika Pak Samitra tiba pukul 18.00-an, dia terkejut melihat kondisi rumahnyasekarang. Mulutnya melongo dengan kedua tangannya yang memegang kepala. Mata istrinya pun terbuka lebar sambil menutup mulutnya yang sama-sama melongo dengan kedua tangannya. Begitupun kedua anaknya tampak terkejut.