Sabtu, 28 Februari 2015

Bintang Jatuh

Malam ini adalah malam yang cerah. Waktu yang tepat untuk melakulan yang kusebut dengan tadabur alam. Kedua orangtuaku sedang berada di rumah bibi, di luar kota, katanya lusa baru pulang; sedangkan adik perempuanku menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kuliah.

Aku menyeduh segelas minuman jahe instan, lalu membawanya ke balkon. Sampai di tangga, ponselku yang kutaruh di kamar berbunyi, tanda ada pesan masuk. Aku segera kesana untuk mengeceknya.

Ternyata sebuah SMS dari sahabatku, Haris yang tiga hari lalu berangkat ke kampung halamannya di kota Pekanbaru, Riau untuk menghadiri pernikahan sepupunya.

"Hey sob, sekarang saya masih di pesawat, cuacanya cerah. Sekitar setengah jam lagi mendarat. Tak sabar untuk mancing lagi besok. Tunggu saya." Begitulah isi pesannya.

Setelah itu aku menuju ke balkon. Disana adalah tempat untuk menjemur pakaian, namun masih tersisa tempat untuk bersantai. Ups... aku lupa membawa kursi lipat, sehingga aku mesti turun lagi ke bawah untuk mengambilnya.

Kursi lipat itu aku bentangkan. Aku duduk seperti orang yang sedang berjemur di pantai. Mataku memandang ke langit yang dihiasi oleh bintang-bintang. Aku suka ini. Menghayati betapa besarnya ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Rumahku terletak di daerah dataran tinggi, di sebelah timur terdapat sebuah kota besar yang posisinya lebih rendah. Aku bisa memandangnya seperti memandang dari puncak gunung. Sungguh indah sekali selain bisa melihat pemandangan langit, aku bisa melihat gemerlapnya pemandangan kota di malam hari.

Daerah rumahku ini juga jauh dari keramaian kota. Udaranya masih segar, tidak pengap oleh asap dan bau kendaraan bermotor, atau hasil pembuangan pabrik.

Ketika memandangi bintang-bintang di langit, aku selalu bertanya, seberapa luaskah alam semesta ini? Sampai sekarang ilmu pengetahuan belum memberi jawaban yang pasti, selain, bertahun-tahun cahaya. Selain itu, imajinasiku berjalan jauh dengan bintang-bintang di langit. Berkhayal jika manusia mampu melakukan perjalanan antar bintang, melakukan penjelajahan di luar angkasa, seperti di film-film.

Sebuah bintang berwarna biru terlihat lebih besar dibanding bintang-bintang di sekitarnya. Bintang itu pastilah sangat panas, lebih panas dari matahari yang berwarna kuning. Ilmu pengetahuan menjelaskan semakin biru warna bintang, maka semakin panas suhunya; sebaliknya, semakin merah semakin dingin suhunya; dan matahari berada di antara keduanya.

Minuman jahe ini menghangatkan tubuhku, membuat mataku terpejam dalam suasana malam yang disertai suara jangkrik dan pepohonan yang tertiup angin.

Tak terasa waktu berlalu cukup lama.

Suara pesawat terbang membuka mataku. Saat itu pula aku melihat sebuah bola api di langit yang sedang menuju ke arahku. Apakah itu meteorit? Bola api tersebut terus membesar, diiringi oleh suara mesin jet pesawat yang memekakkan telinga. Setelah kuamati lagi, ternyata itu adalah sebuah pesawat terbang bermesin jet ganda. Mesin sebelah kirinya mengeluarkan api.
Pesawat tersebut tepat melintas beberapa meter diatas rumahku. Aku segera berlari untuk masuk ke dalam rumah. Kurasakan panas dari api tersebut dan bau aneh yang menyengat. Beberapa benda seperti besi yang terbakar berjatuhan menimpa balkon dan genting rumahku. Suara pesawat tersebut memekakkan telinga, memunculkan suara "ngiiing" dalam pendengaranku. Itu sempat membuat lariku oleng, tapi aku mampu sampai ke tangga.

Di dalam rumah, aku mendengar suara ledakan yang amat dahsyat; kemudian rumah terasa berguncang hebat seperti gempa, beberapa perabotan jatuh ke lantai, aku takut jika rumah ini roboh, dan aku juga takut jika pesawat itu menghancurkan rumahku; saat itu sebuah guci di atas lemari jatuh menimpa kepalaku, membuatku pusing dan tak sadarkan diri, semuanya gelap. Namun untuk beberapa detik, aku mampu mendengar suara orang-orang di luar berteriak, terutama suara perempuan yang menjerit ketakutan.

***

Sinar matahari yang masuk lewat jendela menyoroti kedua mataku, membangunkanku dari pingsan semalaman. Kupegang kepalaku, ada benjolan yang terasa sakit sekali.

Pesawat itu! Aku langsung teringat kejadian semalam. Kuambil celana panjang dan jaket, kemudian keluar rumah.

Diluar banyak sekali orang. Sirene mobil ambulan dan pemadam kebakaran terus berbunyi. Orang-orang yang sepertinya petugas tampak sibuk. Masyarakat pun banyak menuju lokasi jatuhnya pesawat tersebut.

Pesawat tersebut jatuh menimpa beberapa rumah yang terletak di belakang rumahku. Hampir semua rumah-rumah tersebut hancur lebur, sisanya hangus terbakar. Bangkai pesawat hancur berserakan, tidak ada yang utuh, kecuali sayap kanan dan sebagian ekornya yangmasih bisa dikenali. Mesin sebelah kanannya tergeletak tidak jauh di belakang sayap.

Aku tidak bisa mendekat ke lokasi lebih dalam lagi karena dijaga oleh beberapa petugas. Tampak banyak orang yang menangis, terutama para ibu-ibu. Aku merasakan kesedihan yang mendalam dari mereka yang menangis itu.

Walaupun sepertinya api sudah berhasil dipadamkan, asap masih mengepul ke udara dari lokasi kecelakaan. Baru kali ini ada peristiwa pesawat jatuh ke daerahku, tentu ini membuat orang-orang sangat terkejut.

Aku penasaran dengan pesawat apa dan dari mana pesawat yang jatuh tersebut. Di sebuah warung, ada dua orang wartawan stasiun TV yang sedang mengobrol dengan beberapa warga. Aku mendekat kesana untuk menanyakannya.

Seorang wartawan tersebut mengatakan kalau pesawat yang jatuh itu adalah pesawat komersil dari maskapai Tarangga Air, sebuah maskapai swasta Indonesia, jurusan Pekanbaru-Bandung.

Sejenak aku terdiam, keringat dingin keluar. Aku ingat nama Tarangga. Kubuka ponsel dan kubaca pesan-pesan kemarin, dan kutemukan itu. SMS dari Haris yang menyebutkan kalau dia naik pesawat Tarangga Air dari Pekanbaru yang langsung menuju ke Bandung. Aku juga ingat SMS darinya tadi malam ketika dia berkata kalausetengah jam lagi akan mendarat, dan itu adalah di Bandung. Pesawat itu melintas di atas rumahku tak lama setelah SMS tersebut. Aku yakin kalau itu adalah pesawat yang ditumpangi Haris.

Aku kaku, airmata mengalir, mengucur membasahi kedua pipi. Rasa sedih yang teramat muncul dari dalam hati. Tak kuasa ku menahan tangis. Mereka yang di warung menatap kearahku. Wartawan tadi memegang bahuku dan bertanya, "Kenapa kang?"

Aku menjawab, "Sahabatku ada didalam pesawat itu."

Jumat, 20 Februari 2015

Maut di Ketinggian 2000 Meter

Mendaki gunung adalah hobiku. Aku mencintainya sejak masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu usiaku baru 15 tahun. Banyak orang bertanya kepadaku, kenapa aku hobi naik gunung, jawabannya adalah, karena aku suka, entah bagaimana menjelaskannya secara rinci. Hal yang paling aku sukai adalah ketika berada di puncak, kemudian dari sana aku dapat melihat pemandangan sebuah kota. Lampu-lampunya yang beraneka warna memberikan rasa tersendiri bagiku, apalagi kalau ditemani jagung bakar dan minum kopi.

Di usiaku yang saat itu sudah menginjak 27 tahun, sudah banyak gunung yang aku daki di seantero Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dan sekarang aku kembali akan mendaki sebuah gunung di Jawa Barat yang sebelumnya pernah aku daki. Namun kali ini dengan orang-orang yang berbeda dengan sebelumnya, dimana dulu aku mendaki bersama teman-teman dan kakak-kakak kelasku semasa SMA, sekarang aku bersama teman-teman semasa kuliah. Aku suka gunung ini karena dapat melihat pemandangan sebuah kota, pas dengan kesukaanku.

Datanglah hari itu. Kami berempat, yaitu aku, Dika, Hendi, dan Roni berangkat menuju destinasi. Perjalanan kami berjalan dengan lancar, dan untungnya kami semua sudah cukup berpengalaman dalam pendakian gunung, hanya jam terbangnya saja yang berbeda. Roni memiliki jam terbang yang lebih tinggi daripada kami bertiga. Dengan begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan ketika pendakian nanti. Mereka semua adalah teman seangkatanku semasa kuliah, tapi berbeda jurusan.

Aku ingat ketika pertama kali mendaki gunung ini, waktu itu ada Kak Andi yang menjadi pembimbing, dia sangat berpengalaman. Kak Andi mengajarkan banyak ilmu tentang pendakian. Walaupun keilmuannya lebih tinggi dariku dan teman-teman yang lain, dia tidak arogan, tidak seperti seorang senior waktu aku mendaki gunung di masa awal-awal kuliah yang tinggi hati karena merasa dirinya lebih jago dari yang lainnya.

Salah satu hal yang tidak jauh dari dunia pendakian gunung adalah cerita mistis yang berhubungan dengan tempat pendakian. Setiap gunung memiliki ceritanya masing-masing. Beberapa ada yang nyata, ada juga yang mitos.

Singkat cerita, setelah melalui perjalanan panjang, kami berempat sampai di ketinggian sekitar 2000 meter diatas permukaan laut, lalukami mendirikan kemah disana. Dari situ aku dapat melihat pemandangan kota Bandung yang indah. Lampu-lampu penerangan dari bangunan tampak berkelap-kelip seperti bintang di langit, sedangkan lampu-lampu dari kendaraan tampak seperti bintang jatuh yang bergerak sangat pelan. Cuaca saat itu cerah, tapi suhu terasa dingin hingga menusuk tulang.

Ketika melihat pemandangan itu, tak ada rasa lain yang muncul dari dalam diriku, selain rasa kagum pada keindahan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian, kami melakukan kegiatan biasa, membuat api unggun, memasak makanan-minuman, dan mengobrol. Ada pepatah kalau ketika kita berkemah, maka kita akan tahu karakter dari masing-masing anggota. Menurutku memang ada benarnya, tapi itu tidak mutlak. Manusia itu makhluk yang dinamis, bahkan aku lebih memilih menyelesaikan masalah fisika daripada memperdebatkan tentang karakter seseorang.

Malam itu kami jalani dengan menyenangkan. Selesai makan, aku kembali melihat pemandangan kota sambil merekamnya menggunakan kamera, membuat video dokumentasi pribadi, tak lupa aku memberikannya narasi. Dika, Hendi, dan Roni terlihat sedang bermain kartu sambil merokok dan minum kopi. Terkadang mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka mengobrolkan banyak hal, termasuk hal mistis yang membuat mereka sama sekali tidak tertawa.

Setelah hampir satu setengah jam berlalu, aku kembali mendekati mereka bertiga. Awalnya aku mengira semuanya biasa saja, tapi ketika aku bercakap-cakap dengan Roni, ada yang aneh, bicaranya melantur seperti orang gila. Kulihat Dika dan Hendi, mereka diam seperti orang yang sedang pusing, tangannya memijit-mijit dahi, matanya sipit dengan kantong mata yang berat, dan kulit wajahnya merah. Aku curiga dengan apa yang terjadi pada mereka. Kutemukan botol minuman keras di belakangnya. Aku mencium bau alkohol dari mulut mereka masing-masing. Mereka mabuk.

Dari mereka bertiga, hanya Roni yang mabuknya lepas. Dia terus berbicara kesana-kemari, terkadang dia menceritakan tentang hal-hal pribadinya. Benar kata temanku, orang yang sedang mabuk akan berkata jujur, kecuali yang mampu menahan diri untuk diam seperti Dika dan Hendi. Sesekali mereka berdua merespon omongan Roni dengan pelan dan singkat, itupun seperti yang terpaksa.

Aku terkejut karena baru kali itu melihat mereka mabuk. Entah sejak kapan mereka mulai menenggak minuman keras, karena selama kuliah dahulu mereka tidak pernah melakukannya.

Karena muak, aku kembali ke tempat dimana aku memandang pemandangan kota. Kupikir, mungkin nanti mereka akan tertidur sendiri, dan besoknya akan sadar.

Sekitar setengah jam kemudian terdengar suara teriakan kecil dan suara orang yang dipukul. Aku segera berlari menuju tenda dan... ya ampun, aku melihat pemandangan yang mengerikan. Terlihat Roni sedang berdiri tegak, kepalanya menunduk, tangannya memegang botol minuman keras tadi yang sudah pecah. Dika dan Hendi terkapar dengan darah segar mengalir dari kepala. Roni kemudian mengamuk sendiri, lalu mengacak-acak api unggun di depannya. Kayu-kayu yang terbakar berhamburan kesana-kemari, membakar Dika dan Hendi, serta barang-barang disekitar tenda.

Spontan aku berlari menuju tenda dan segera mengambil jeriken air untuk memadamkan api, tapi Roni memukul kepalaku dari belakang dengan botol di tangannya, membuatku pusing untuk sementara, tubuhku jatuh ke tanah, tapi aku segera bangkit. Setelah berdiri dan membalikkan badan, aku tepat menghadap kewajahnya. Kulihat kedua bola matanya berwarna merah, ekspresi mukanya seperti orang yang sangat marah; kemudian dia komat kamit dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Sekilas aku ingat dengan yang namanya Genderuwo.

Roni melayangkan pukulannya ke arah kiri mukaku, tapi aku mampu menangkisnya. Terasa pukulannya sangat keras, aku terpental dengan rasa sakit yang luar biasa di lengan kiri. Tulangku rasanya patah atau remuk, tapi ternyata tidak.

Dalam keadaan berusaha untuk bangkit, aku melihat api semakin membesar dan membakar tenda beserta apapun di sekitarnya. Roni mengamuk seperti orang gila, lalu berjalan menuju kobaran api.

Beberapa detik kemudian aku merasakan sakit yang luar biasa di kepala, diikuti dengan pandangan yang mulai kabur, dan pusing yang membuat dunia seakan berputar, menggelap, kemudian aku tidak dapat mengingat apa-apa lagi.

Sore itu suara tangisan anak kecil membangunkanku. Kubuka mata dan aku tahu aku sedang berada dalam sebuah kamar, infusan terhubung denganku. Kulihat terdapat poster-poster medis terpampang di dinding. Sekujur tubuhku rasanya sakit, terutama kepala bagian belakang dan lengan kiri. Aku bangkit dari pembaringan dan berjalan pelan keluar kamar. Setelah kubuka pintu, aku tahu aku sedang berada di sebuah Puskesmas.

Seorang laki-laki berpakaian pendaki datang menghampiriku. Dia menanyakan tentang diriku. Lelaki itu bernama Yudi.

Yudi menjelaskan kalau tadi malam kelompok pendakinya melihat kobaran api yang cukup besar dari tempat aku mendirikan kemah; kemudian dengan susah payah dia dan tiga orang rekannya menuju asal kobaran api tersebut; sesampainya disana, dia menemukan diriku tak sadarkan diri, tidak jauh dari tenda yang terbakar; mereka kemudian membawaku dan menghubungi pihak penyelamat serta kehutanan. Yudi dan teman-temannya rela menggotongku hingga ke perkemahannya sebelum dibawa ke sini.

Dia juga memberitahu kalau tim penyelamat menemukan tiga jasad laki-laki yang terbakar, dua jasad berada di dekat bekas api unggun, dan seorang lagi di dekat tenda. Mereka semua hangus.

Mendengarnya, perasaanku menjadi kacau, entah apa yang mesti kulakukan. Aku kembali ke kamar untuk beristirahat sebelum diizinkan pulang dan mengurusi masalah itu.

Beberapa hari kemudian, aku memberikan kesaksian atas apa yang terjadi ketika malam horor itu terjadi. Awalnya aku menemui kendala karena banyak yang tidak percaya, malah aku sempat divonis bersalah, tapi Yudi dan teman-temannya membantuku sehingga aku bisa melewatinya dengan lancar.

Setelah kejadian itu, aktivitas pendakian gunungku terhenti, untuk sementara. Aku menyibukkan diri dengan mengikuti kegiatan keagamaan, berusaha melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Ada yang lebih penting daripada hobiku. Itu semua semakin menguatkan keyakinanku kalau ketika mati nanti, hanya amal baik yang akan menjadi teman sejati.

Meskipun demikian, aku tidak pernah kehilangan keinginan untuk kembali mendaki gunung, kembali melihat pemandangan sebuah kota, mengagumi ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jika Tuhan kembali memberikanku kesempatan untuk mendaki gunung, mungkin aku akan melakukannya lagi.

Jumat, 13 Februari 2015

Eureka!

Entah kenapa sore ini teman seangkatan sekaligus sahabatku tapi berbeda jurusan, Arvin datang ke kamar kosanku dengan wajah yang suram. Matanya terlihat berat, dengan kantung mata yang menurun. Mulutnya sedikit membentuk huruf U terbalik. Dia langsung duduk di sampingku, dan meneguk botol minuman di tangannya.

"Ada apa Ar, kamu terlihat kacau?" Tanyaku.

"Ponselku hilang." Jawab Arvin dengan lesu.

"Hilang dimana dan bagaimana?" Tanyaku lagi.

"Barusan di kelas," jawabnya, "saat perkuliahan tinggal 10 menit lagi, aku izin ke WC untuk buang air kecil; setelah itu karena waktunya tanggung, aku jajan di kantin, disana bertemu Hasna, adik tingkat, aku kebablasan mengobrol dengannya sampai lewat 15 menitan setelah jam kuliahku selesai."

Arvinmeneguk minumannya kembali dan melanjutkan cerita, "ketika aku kembali ke kelas, teman-teman sudah pulang semua; di parkiran, aku baru sadar kalau ponsel yang aku simpan di tas telah hilang. Pencurinya pasti teman-teman sekelas, siapa lagi kalau bukan mereka, karena sebelum ke WC, ponselku masih ada didalam tas."

"Bisa saja ada orang lain yang masuk ke dalam kelas, kemudian melihat tasmu sendirian." Kataku.

"Tidak, aku yakin pencurinya masih teman sekelasku, saat itu lantai-3 sepi, hanya ada kelasku saja. Ketika aku balik lagi kesana juga tidak ada kelas lain yang masuk," katanya dengan nada kesal, "apa yang aku khawatirkan adalah data-data di dalamnya. Aplikasi penyimpanan dokumenku masih terhubung ke Internet, disana ada dokumen yang menyimpan semua informasi akun-akunkuseperti kata kunci dan yang lainnya,termasuk nomor PIN ATM."

"Itu artinya dia bisa menguasai akun media sosial dan E-Mail-mu!" Kataku memperingatkan.

Aku segera menyalakan Laptop dan menghubungkannya ke Internet, kemudian menyuruh Arvinuntuk segera mengganti kata kunci akun-akunnya di Internet.

Setelah membuka beberapa akunnya, tidak ada tanda-tanda si pencuri mengakses akun tersebut. Dari catatan akses, tidak ditemukan aktivitas pengaksesan setelah ponselnya hilang. Arvinmengelus dadanya.

Sayangnya, dia tidak memasang aplikasi keamanan seperti yang aku lakukan pada ponselku. Aplikasi tersebut dapat mengunci ponsel melalui Internet atau SMS. Lebih disayangkan lagi dia sama sekali tidak mengunci layar ponselnya, menjadikannya tanpa pengamanan sedikitpun, dengan data-data berharga di dalamnya.

"Oh ya, sore ini juga aku harus ke kosan Daksa untuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan besok," katanya, "masih ada beberapa akun yang belum kuganti kata kuncinya, sekalian kita lanjutkan disana, kamu ikut denganku."

Sore itu juga kami berdua meluncur mengendarai sepeda motor masing-masing ke kosan Daksa, teman sekelas Arvin, yang letaknya agak jauh dari kosan kami berdua.

***

Sesampainya di kosan Daksa, Arvinlangsung menanyakan tentang tugas untuk hari esok. Daksa memberikan pekerjaannya yang sudah dijilid warna biru tua.

"Ingat jangan sama dengan punyaku, nanti Pak Dosen curiga." Kata Daksa.

Kami berada di kosan Daksa hingga malam hari. Saat itu jam tanganku menunjukkan pukul 20.30. Selesai mengerjakan tugas, Arvin menceritakan tentang kehilangan ponselnya.

"Ketika bubaran, aku adalah orang yang pertama keluar dan langsung menuju ruangan BEM di lantai-2, jadi aku tidak tahu siapa orang yang membuka-buka tasmu," kata Daksa, "sebelum bubaran pun kulihat tidak ada orang yang menyentuh tasmu."

Aku dan Daksamenyarankan Arvinuntuk bersabar, dan segera melakukan penyelidikan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, seperti media sosial di Internet. Beberapa gambar atau baris kata dapat menjadi petunjuk yang berharga. Kami berdua pun ikut membantu.

"Baiklah, sebelum kalian pulang, bagaimana kalau kita cari makan dulu?" Ajak Daksa.

"Oke, setuju." Kataku.

Kami bertiga berjalan menuju daerah dekat stasiun kereta api yang dipenuhi pedagang makanan. Kami menghampiri sebuah kedai yang cukup besar dan memesan nasi goreng disana.

Selesai makan kami duduk-duduk di depan sambil memesan susu coklat dari seorang pedagang minuman di depan kedai. Suasananya ramai, mata kami sering terpaut pada perempuan-perempuan muda cantik yang melintas.

Tak beberapa lama kemudian datang Faran, masih teman seangkatan kami dan sekelas dengan Arvin dan Daksa. Dia juga memesan minuman.

"Hey Ran, belum tidur?" Sapa Daksa.

"Hey kalian, pertanyaan bodoh... tidur? Tentu saja belum,” jawab Faran, “Arvin, Daksa, kalian sudah mengerjakan tugas untuk besok?"

"Tentu saja sudah, barusan di kos." Jawab Daksa.

"Baguslah... hey kalian mau lihat sesuatu yang goblok?" Tanya Faran.

"Sepertinya menarik, apa itu?" Tanya Daksa.

"Setelah ini kalian ikut denganku." Kata Faran.

Selesai memesan tiga bungkus susu soda, Faran mengajak kami ke kosannya yang terletak tidak terlalu jauh dari kedai ini.

"Susu soda ini untuk si Genta dan dua orang temannya yang sedang terbang." Kata Faran.

"Terbang, maksudmu?" Tanya Daksa.

"Si Gentalagi mabuuuk, dia terlalu banyak menenggak arak dan berperilaku seperti orang gila." Jawab Faran.

"Apa, seorang Genta mabuk, seorang sosok aktivis seperti dia?" Kata Daksa terkejut, "dia selalu menasihati kita dengan kata-kata bijaknya, aku tidak percaya ini. Baiklah kita lihat seperti apa dia sekarang, aku jadi penasaran."

"Kamu juga ikut-ikutan?" Tanya Arvin pada Faran.

"Aku? Tidaklah, ketika aku mau meminjam kamera fotografernya, atau DSLR, aku menemukan dia seperti itu," jawab Faran, "mungkin susu soda ini dapat meminimalisir efek mabuknya. Baru kali ini aku menemukan dia mabuk, entah sebelumnya dia sudah pernah melakukannya berkali-kali, atau baru kali ini saja.”

***

Kami sampai di daerah kosan Faran yang dekat dengan gedung kosan Genta, dan langsung menuju ke kamar Genta.

Memasuki kamar, aku langsung mencium bau alkohol yang menusuk hidung. Ada tiga botol miras di lantai, mungkin itu adalah arak seperti yang dikatakan Faran. Genta terlihat meringkuk di kasur, tangan kanan memegang dahinya seperti orang yang sedang pusing, kulitnya merah gelap, dan rambutnya acak-acakan. Di sampingnya ada dua orang laki-laki yang sama-sama mabuk, kami berempat tidak mengenalnya, mungkin teman Genta dari kampus lain atau darimana.

Berbeda dengan dua orang temannya yang diam, Genta malah berbicara terus menerus, omongannya melantur kesana-kemari. Faran menyarankan kami untuk mengajaknya berbicara. Karena ini menarik, kami duduk dan mendengarkan Genta yang terus berbicara aneh seperti orang yang sedang mengigau.

Dengan usil, Daksa menanyakan tentang Pak Beni, satpam di kampus yang sering berada di portal, "Bagaimana menurutmu dengan penampilan Pak Beni, satpam kita yang ganteng itu?"

"He... uitu... si ganteng... kumisnya... aku ingin cukur itu kumisnya..." jawab Gentadengan terputus-putus, "emh... portal naikin... tuh gitu buka portal... ayo cepat masuk jangan terlambat!"

"Alamak..." kata Arvindengan terkejut sambil tertawa kecil, "seperti bukan Genta yang kukenal, jadi seperti inilah orang yang mabuk itu, tapi ini menyenangkan, coba tanya dia lagi sesuatu."

Ketika Daksaakan bertanya kembali, Gentaberbicara lagi sambil tertawa kecil, "Hihihi... sebenarnya kemarin siang waktu tidak ada siapa-siapa, aku membawa si Rukmi ke sini, terus aku pake dia... ternyata udah gak perawan loh... mukanya itu... selama aku pompa... tanpa ekspress... espress..."

"Ekspresi?" Kataku membantu bicaranya yang berat.

"Eu? Eyya... ekspresi maksudnya... tidak ada desahan... tidak ada auh... auh... emh... kurang greget gitu... tap... tapi aku seneng... nikmaaat..." kata Genta.

Kami berempat saling berpandangan dengan heran. Arvin mengatakan kalau Rukmi adalah mantan pacar Genta yang setahu dia sudah putus 2 bulan lalu.

"Tanya lagi ah..." kata Daksadengan ekspresi greget, "Bagaimana dengan si Arvin, dia ganteng tidak, apa seperti artis-artis Korea itu?"

"Emh... heu... iya ganteng opa, opa... i love you... boleh pegang nggak?" Jawab Genta dengan suaranya yang dikecilkan seperti suara perempuan.

"Goblok...malam ini dia jadi maho." Kata Arvin.

Kami semua tertawa mendengarnya dan segera membuka bungkusan susu soda untuk diberikan pada Genta.

"Emh... tadi sore pas buburan aku buka tas si Arvin..."

Mendengar itu, Arvin langsung berhenti menuangkan susu soda ke gelas, matanya langsung tertuju pada Genta.

"Eh ada HP, ku ambil aja tuh rejeki..." Kata Genta melanjutkan.

Aku, Arvin, dan Daksakembali saling menatap, lalu dengan cepat Arvin berkata, "Eureka!" Dengan kedua tangannya saling mengeprok keras, membuat susu soda yang sedang dia tuang tumpah kelantai.