Sabtu, 31 Januari 2015

Obrolan Paling Memuakkan di Kantor

Tlit, tlit, tlit! Alarm ponsel Ramzi berbunyi, membangunkannya dari tidur malam yang nyenyak. Dengan sedikit berat dia membuka kedua matanya, kemudian terduduk sebentar, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Setelah mandi dan berwudhu, dia melaksanakan shalat shubuh.

Selesai mandi dia berdandan dan memakai pakaian kerjanya, sepatu kulit hitam, celana katun hitam, kemeja biru, dan dasi hitam, dengan jaket sebagai tambahannya. Tak lupa sarapan roti selai kacang kesukaannya dan segelas jus jeruk.

Dia pergi menuju kantornya menggunakan bus umum, meskipun sebenarnya dia memiliki sepeda motor sendiri. Ekspresi wajah dan gerak tubuhnya menunjukkan dia sedang bersemangat kerja. “Semoga hari ini semuanya dilancarkan, amin.” Katanya dalam hati.

Di sebelah kanan meja kerjanya ada Adit, dan disebelah kirinya ada Yanti yang baru bekerja seminggu di kantor tersebut. Yanti menggantikan Herman yang mengundurkan diri.

Yanti sudah cukup dekat dengan Adit, sedangkan Ramzi belum, karena selama 3 hari Ramzi ditugaskan ke luar kota. Jadi hari ini adalah hari ke-4 nya dia bekerja bersama Yanti.

Hari itu adalah hari Sabtu, kantor tidak begitu sibuk. Jam menunjukkan pukul 11 siang. Adit sedang mengobrol dengan Yanti.

Melalui ponselnya, Adit menunjukkan foto pernikahan temannya kepada Yanti, “Jadi bagaimana menurutmu dengan dekorasi dan pakaian pengantinnya?”

Yanti menimbang-nimbang sebentar, “Hmmm... dekorasi sudah bagus, tapi pakaian pengantin wanitanya terlihat berat di bagian kepala. Harusnya tidak perlu diberi terlalu banyak hiasan.”

“Haha... benar nih yang namanya ibu-ibu dan perias pengantin memang peka dengan hal-hal seperti ini.” Kata Adit.

Ramzi tidak ikut mengobrol, dia hanya mendengarkan saja, perhatiannya terfokus kepada layar komputer di depannya. “Semangat, semangat, sebelum istirahat harus beres!” Katanya dalam hati.

“Wah sepertinya Ramzi sedang bersemangat, tenang saja Ram jangan terlalu serius begitu mengetiknya,” kata Adit menggoda, kemudian melanjutkan obrolannya dengan Yanti, “ketika aku melihat temanku itu, aku dapat melihat rasa bahagia terpancar dari mata mereka. Jadi benar kalau pernikahan itu adalah hari yang paling bahagia, maksudku salah satu hari yang paling bahagia dalam hidup seseorang, selain hari gajian, hehehe.”

“He... iya juga, tapi kalau pernikahanku menyedihkan,” jawab Yanti, “aku ingat waktu itu dananya kurang, jadi acaranya pun ya... pas-pasan. Pokoknya kalau mengingat hari pernikahanku, itu menyedihkan sekali.”

“Tapi menurutku bukan masalah acaranya yang mewah atau sederhana, yang terpenting adalah bahtera rumah tangganya apakah bahagia atau tidak. Banyak kan orang yang pernikahannya mewah, tapi kehidupan rumah tangganya tidak harmonis; sebaliknya ada orang yang pernikahannya cuman kecil-kecilan, tapi kehidupan rumah tangganya harmonis.” Kata Adit.

“Benar juga sih, tapi suamiku itu orangnya terlalu pendiam.” Kata Yanti.

Adit mengerutkan keningnya, “Pendiam bagaimana? Kalau dilihat dari foto-fotonya, sepertinya suamimu itu orangnya baik. Aku bisa menilai dari matanya. Emh... tapi itu hanya penilaianku saja, berdasarkan ilmu psikologi yang pernah aku pelajari dari Internet.”

“Tapi bagiku dia terlalu pendiam... (Yanti melanjutkan obrolannya dengan Adit.)”

Ramzi menyelesaikan pekerjaannya, kedua tangannya dia angkat ke atas sambil menghirup napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya sambil berkata, “Fuh... akhirnya beres juga.” Dia mulai melirik percakapan Adit dan Yanti.

“Sepertinya kalian berdua dari tadi asyik sekali, sedang membicarakan apa sih?” Tanya Ramzi.

“Ini katanya Yanti kurang puas sama suaminya setiap malam, kurang...” Jawab Adit sambil setengah tersenyum, yang kemudian dihentikan oleh Yanti.

Wajah Ramzi menjadi keheranan, “Emh, sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan, sepertinya tentang hubungan suami-istri?”

Adit menjawab sambil tersenyum kecil, “Pelajaran buat kita nih Ram, langsung dari orang yang berpenga...”

“Eh! Tidak, tidak, hehe...” kata Yanti sambil tersenyum malu-malu, “Dit!”

Ramzi memalingkan mukanya dari Adit dan Yanti, lalu memainkan game di ponselnya sambil menunggu jam 12 tiba. Tapi telinganya tetap mendengarkan apa yang dibicarakan Adit dan Yanti. Sepanjang percakapan, Adit mendengarkan Yanti yang terus berbicara.

“Setiap hari, tanganku selalu pegal setelahnya semalaman memberikan susu formula kepada anakku itu.”

“ASI? Bagaimana aku bisa memberi ASI? Dari awal kehamilan, payudaraku hanya mengeluarkan sedikit ASI, tidak cukup untuk menyusui si dedek. Lagipula, biasanya kan kalau puting payudara perempuan hamil itu menonjol keluar, kalau aku tidak, malah masuk kedalam. Aku juga heran kenapa bisa begitu.”

“Aku juga kesal dengan adik laki-lakiku yang suka rewel padaku, padahal dia sudah kelas 5 SD. Masa aku harus memberikan uang jajan kepadanya, padahal mamah dan bapakku masih ada?”

“Terkadang kalau aku sedang malas dengan si dedek karena menangis terus, aku suka menitipkannya kepada pembantu di rumah mamah.”

Tak terasa Adit dan Yanti mengobrol hingga pukul 12 siang. Selama itu Adit terus mendengarkan Yanti dengan serius, terkadang sambil tertawa kecil dan tersenyum-senyum, tanpa membalas satu ucapan pun.

“Aku duluan ke masjidnya, setelah itu makan di tempat biasa.” Kata Ramzi kepada mereka berdua sambil berdiri meninggalkan mejanya. Dia meninggalkan gedung, menuju masjid untuk menunaikan shalat Dzuhur.

“Oke!” Kata Adit dan Yanti yang masih mengobrol.

Setelah menunaikan shalat Dzuhur, Ramzi menuju sebuah warung pulsa yang terletak disebelah kompleks masjid.

“Mas Ramzi, gimana kabarnya, lama gak keliatan, gimana kerjanya?” Tanya penjaga pulsa yang sudah akrab dengan Ramzi.

“Aduh agak sedikit pusing mas.” Jawab Ramzi.

“Lho kenapa bisa pusing toh?” Tanya penjaga pulsa lagi.
  
“Karena baru saja saya mendengarkan... obrolan paling memuakkan di kantor. Dan selama 3 tahun saya bekerja di sana, baru saya alami barusan.” Jawab Ramzi sambil memijit-mijit kepalanya.

Kamis, 29 Januari 2015

Pekerja Berkaos Merah

Sore itu adalah sore yang sibuk di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Hari pertama tahun ajaran baru. Mahasiswa baru berlalu-lalang kesana kemari, mencoba akrab dengan lingkungan barunya. Tapi saat itu kebanyakan adalah kelas karyawan yang jam kuliahnya dari sore hingga malam hari.

Ardhani, seorang mahasiswa baru kelas karyawan tergesa-gesa berjalan menuju kelasnya. Dia terlambat 15 menit setelah menambal ban sepeda motornya yang kempis tertusuk paku. Wajahnya menunjukkan ekspresi sedikit kelelahan, keringat terlihat di wajahnya. Sampai di depan kelas, dia melihat dari kaca pintu kalau bapak dosen sudah tiba. Kemudian dia mengetuk pintu, meminta maaf kepada dosen dan menjelaskan alasan keterlambatannya. Bapak dosen memaafkannya dan mempersilakan masuk. Ardhani duduk di bangku barisan paling belakang.

Pak dosen memperkenalkan dirinya, dan meminta mahasiswa juga untuk memperkenalkan diri. Satu persatu mahasiswa memperkenalkan diri dan menyebutkan pekerjaannya. Sampai pada salah seorang yang bernama Hamdan, dia mengaku bekerja sebagai kuli bangunan. Dosen dan mahasiswa lain terkejut dengan jawaban yang terdengar kurang masuk akal tersebut, tapi Hamdan tetap mengaku kalau pekerjaannya adalah kuli bangunan.

Perkuliahan pada hari pertama berlangsung singkat, hingga pukul 5 sore. Setelah bubaran, beberapa mahasiswa ada yang mengobrol, dan saling berkenalan satu sama lainnya. Ardhani berjalan pelan menyusuri lorong. Hamdan menghampirinya dari belakang dan menepuk pelan bahunya. “Hey Dan, kamu guru TI di SMP-7 itu ya? Itu SMP-ku waktu dulu. Sudah berapa lama bekerja disana?”

“Baru 3 tahun.” Jawab Ardhani.

Beberapa saat kemudian datang Kara, seorang mahasiswi sekelas menghampiri Hamdan. “Hamdan, kamu dulu pernah di SMAN-22 juga? Aku juga alumni sana, kita seangkatan tapi beda kelas, makanya kita belum pernah kenal. Lagipula aku pindahan dari SMAN-26 waktu kenaikan ke kelas XII.”

“Oh, berarti ini seperti reunian.” Jawab Hamdan.

“Bisa dibilang... eh ngomong-ngomong serius tuh kamu kerjanya jadi kuli bangunan?” Tanya Kara.

Hamdan pun tersenyum kecil, “Iya kuli bangunan yang setiap hari mengerjakan proyek, hehehe.”

Kara sama-sama tersenyum kecil dan pulang lebih dulu.

Hamdan lalu pamit pada Ardhani. “Oke Dan, saya pulang duluan ya, sampai bertemu besok!” Dia pulang mengendarai sepeda motor sport-nya yang berdimensi besar, dengan knalpot yang mengeluarkan suara bising dan menghentak.

***

Setahun kemudian, tepatnya di akhir semester kedua, Ardhani menghadapi UAS (Ujian Akhir Semester) yang lebih sulit dibandingkan semester pertama. Salah satunya adalah mata kuliah Algoritma dan Pemrograman. Meskipun cukup sulit, Ardhani mampu mengerjakan ujian tersebut dengan nilai yang cukup untuk syarat kelulusan, yaitu 6.

Ardhani terkejut ketika melihat nilai milik Hamdan yang terpampang 8.5. Ardhani bertemu dengan Kara yang sama-sama sedang melihat pengumuman nilai UAS di papan pengumuman jurusan.

“Rata-rata kelas kita memiliki nilai 5 dan 6, hanya Hamdan yang memiliki nilai tertinggi, luar biasa. Aku yakin dia mendapatkannya dengan murni. Ujian hari itu sangat ketat, tidak mungkin ada seorangpun yang berlaku curang. Konsepan yang sudah aku siapkan pun terpaksa tetap disimpan di dalam tas. Pasrah saja dengan nilai 5.7, yang penting tidak dibawah 5.” Kata Kara.

“Iyap, aku juga pasrah saja dengan nilai 6.5,” jawab Ardhani, “aku juga percaya dengan pencapaian nilai Hamdan. Sepertinya dia bukan orang sembarangan. Tahu kan, meski dia orangnya supel, tapi setiap ada hal yang berhubungan dengan mata kuliah Algoritma & Pemrograman, Matematika, dan Struktur Data, dia selalu menghindar. Kapan dia berdiskusi dengan kita tentang tiga mata kuliah itu?”

“Ya... dia itu memang pelit. Kalau kita butuh dia, dia tidak ada, malah menghindar; tapi kalau dia sedang butuh kita... contohnya seperti waktu ada tugas Bahasa Inggris, menyebalkan sekali, aku yang susah payah mengerjakan, dia tinggal mencontek saja, agak memaksa lagi.” Kata Kara dengan sedikit kesal.

“Jadi kamu percaya kalau dia bekerja sebagai kuli bangunan?” Tanya Ardhani.

“Sama sekali tidak, uh... sombong sekali dia mengaku sebagai kuli bangunan. Setahun ini dia belum pernah menceritakan tentang pekerjaan dia yang sebenarnya,” jawab Kara, “tapi dengar-dengar sih katanya dia seorang programer yang membuat aplikasi untuk sebuah perusahaan, tapi aku tidak tahu perusahaan apa. Masuk akal dengan nilai mata kuliah Algoritma dan Pemrogramannya yang mendapatkan nilai paling tinggi.”

***

3 tahun berlalu setelah Ardhani diwisuda dari bangku kuliah. Kini dia sudah bekerja sebagai dosen muda di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Disana dia menyewa kamar di sebuah indekos yang cukup bagus. Terkadang dia harus bolak-balik ke Bandung untuk bertemu dengan keluarganya, terutama ibunya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan.

Suatu hari dia mengendarai sepeda motor untuk mengunjungi sepupunya. Sesampainya disana dia disambut dengan hangat. Sore hari mereka mengobrol bersama di balkon yang menghadap langsung ke areal persawahan yang cukup luas. Tak jauh dari tempat mereka, terdapat sebuah rumah yang cukup besar sedang dibangun. Tampak para pekerja yang sibuk, dan ada pula sebagiannya yang beristirahat menunggu giliran.

Mata Ardhani melihat sesuatu yang berbeda dari seorang pekerja yang sedang beristirahat. “Apa aku salah lihat? Tampaknya aku mengenali pekerja disana yang memakai kaos merah.” Katanya kepada sepupunya.

Sepupunya menjelaskan kalau yang membangun rumah itu adalah seorang pejabat. “Karena memang pejabat yang membangun rumah itu adalah pejabat berduit, makanya rumahnya juga lebih bagus daripada rumah-rumah disini. Katanya sih itu bukan rumah satu-satunya.”

“Aku akan menemui pekerja itu, aku penasaran.” Kata Ardhani sambil turun dari balkon, dan keluar menuju tempat pembangunan rumah tersebut.

Ardhani berjalan mendekati para pekerja yang sedang beristirahat sambil merokok dan minum kopi. Namun pekerja yang memakai kaos merah tadi melihat Ardhani, dia langsung menuju ke belakang bangunan, mencoba menghindar darinya.

Ardhani melihatnya dan menuju ke belakang bangunan. Disana dia mendapati pekerja berkaos merah tersebut hendak pergi dengan sepeda motor bebeknya yang butut.

“Hey kang tunggu, sepertinya saya mengenal anda.” Kata Ardhani setengah berteriak.

Mendengar itu, pekerja berkaos merah tersebut segera mengambil helmnya, tapi dia lupa untuk melepaskan ikatan pada joknya yang masih terkunci.

Setelah melihat wajah pekerja berkaos merah tersebut, Ardhani terkejut. “Hamdan, ternyata kamu! Apa kamu benar-benar kuli bangunan, apakah ini nyata, bukannya... bukannya kamu bekerja sebagai programer, benar kan?”

“Ya ini aku,” jawab Hamdan dengan lesu, “maaf aku harus pergi sekarang, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.” Hamdan langsung pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ardhani hanya terdiam menyaksikan Hamdan yang pergi meninggalkannya tanpa mau berbicara banyak.

Minggu, 25 Januari 2015

Selamat Hari Ibu

Sore itu Anis dan Rafa, dua orang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di kota Bandung, sedang bersantai di sebuah saung di kampusnya. Anis membuka laptop dan mengecek Facebook-nya. Rafa berada di sampingnya, memperhatikan Anis yang sedang menelusuri kabar berita, sambil mengunyah kue coklat kesukaannya.

“Aku baru ingat kalau kemarin adalah hari Ibu, pantas saja banyak yang memasang status tentang kecintaan pada sosok ibunya masing-masing,” kata Anis, “lihat ini seperti statusnya si Dela.”

Meskipun orang lain tidak mengerti padamu, ada orang yang selalu mengerti, yaitu ibumu. Lalu masihkah kita tidak percaya pada ibu kita sendiri? Mom I Love You, selamat hari ibu!Begitulah status yang dipasang Fidela di Facebook-nya. “Euh dia memang orang yang ahli merangkai kata-kata, sepertinya dia benar-benar bangga dan cinta pada ibunya.” Kata Rafa.

Tak beberapa lama kemudian, datang Fidela menghampiri Anis dan Rafa, “Hey kalian sedang apa disini, berduaan lagi?”

Anis dan Rafa yang dari tadi memperhatikan laptop, sedikit terkejut dengan kedatangan Fidela. “Eh Dela, kirain kamu sudah pulang duluan.” Kata Rafa seraya memalingkan matanya dari laptop dan menatap Fidela.

“Tidak, tadi selepas bubaran aku ngobrol dulu dengan kak Dani di lantai-2.” Kata Fidela.

“Pasti tentang acara mendaki gunung itu ya, jadi kamu mau ikut atau tidak?” Tanya Anis, “Kalau kami sudah pasti tidak akan ikut, sebagai guru muda kita sibuk mau mempersiapkan acara gebyar seni anak-anak. Mereka masih SD, pastinya masih membutuhkan bimbingan.”

“Hmmm... sebenarnya aku juga ingin ikut, tapi mamah tidak mengijinkanku, katanya dia khawatir takut ada apa-apa terjadi padaku, takut inilah-takut itulah, jadi aku katakan pada kak Dani kalau aku tidak ikut, sedih... Ah... aneh, padahal usia 21 tahun sudah bukan perempuan culun lagi kan? Lagipula itu acara organisasi, yang ikutannya banyak, gak akan lah mereka yang laki-laki bakal berbuat macam-macam. Menyebalkan sekali.” Kata Fidela dengan nada dan raut wajah yang kesal sambil memetik setangkai bunga yang ada disamping saung.

Mendengar itu, Anis dan Rafa saling bertatapan dengan wajah datar.

Kamis, 22 Januari 2015

Naif

Pada suatu malam, Akmal membuka laptopnya dan berselancar di internet. Kemudian dia membuka Facebook, dan mendapatkan pesan masuk dari Udin, temannya semasa kuliah. Isinya, Udin mengajak untuk berkumpul di Punclut1minggu depan. “Dulur2, bagaimana kabarnya, sudah setinggi apa gunung yang kalian daki? Saya rindu ingin bertemu kalian. Bagaimana kalau hari Sabtu depan kita kumpul di Punclut sore-sore? Datang ya!” Begitulah isi pesannya.

Seminggu kemudian, pada sore hari Akmal mendatangi Punclut. Disana dia mendapati Udin dan teman-teman semasa kuliahnya dulu. Seperti layaknya teman yang lama tidak bertemu, mereka semua mengobrol tentang kondisi-situasi sekarang masing-masing, dan mengingat masa-masa ketika masih kuliah. Hadir pula Fadli yang selalu jail terhadap Udin. Dia melakukan kejailan kembali terhadap Udin, sama seperti ketika masih kuliah dahulu, baik dalam bentuk fisik maupun verbal. Setelah acara selesai, Udin mengajak Akmal ke rumahnya untuk sekedar minum kopi dan mengobrol.

Di rumahnya, Udin menghidangkan kopi, kue-kue, dan sebungkus rokok, tapi Akmal tidak mengambil rokok karena dia tidak merokok. Dari dulu gaya merokok Udin tidak berubah, yaitu seperti bapak-bapak yang sangat menghayati hisap demi hisap.

“Jadi bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang?” Tanya Udin.

“Alhamdulillah lancar.” Jawab Akmal. “Bagaimana denganmu?”

“Ya begitulah, ada enaknya ada tidak enaknya. Gajinya kecil eng...” Keluh Udin.

Akmal kemudian ke balkon dan memandangi langit. “Gaya merokokmu tidak berubah dari dulu.”

“Hehe, tentu saja, aku pernah berhenti merokok sebentar, tapi kemudian aku merokok lagi. Aku tidak bisa menahan keinginanku untuk merokok.” Kata Udin sambil menghisap rokoknya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya secara perlahan. “Si Fadli juga tidak berubah dari dulu, selalu jail, dan paling parahnya pasti kepadaku. Perilakunya itu suka melewati batas.”

Akmal masuk kembali ke dalam kamar dan duduk di depan Udin. “Mungkin dia rindu setelah sekian lama tidak bertemu denganmu.”

“Ah, dia itu tetap menyebalkan seperti dulu.” Kata Udin sambil mengerutkan dahinya. “Ingat dahulu waktu dia menawarkan sebotol Coca-Cola padaku, padahal dia sudah mencampurkannya dengan alkohol. Dia menganggap itu sebagai lelucon, menyebalkan sekali. Untung aku tidak meminumnya setelah si Deni memberitahu. Ah, sebenarnya aku juga muak bertemu dengannya, apalagi sikapnya yang tidak berubah dari dulu.”

“Wah, aku tidak tahu masalah itu, tapi itu adalah lelucon yang jahat,” kata Akmal, “dan sepertinya sekarang aku harus pulang, sudah terlalu malam, aku mulai mengantuk.”

Udin menyarankan untuk menginap saja di rumahnya karena besok adalah hari Minggu, tapi Akmal menolaknya. Pukul 10 malam, Akmal meluncur pulang ke rumahnya. Matanya sudah mengantuk. Sesampainya di rumah, Akmal langsung merebahkan dirinya di kasur dan terlelap tidur.

Keesokan harinya, Akmal berbaring-baring di kasur sambil mengingat kejadian kemarin. Terkadang dia tersenyum sendiri. Tak beberapa lama kemudian ponselnya berbunyi, tanda ada pesan yang masuk. Setelah dicek, sebuah pemberitahuan dari Facebook. Ketika dibuka, Udin memasang sebuah foto di halaman utama dan menandai teman-teman sekelas, termasuk Akmal. “Kawan kita semua bukan teman, tapi sudah menjadi dulur.” Begitulah tulisan di foto tersebut.

Melihat itu, Akmal kembali hanya tersenyum kecil.






Keterangan
1.     Punclut adalah sebuah tempat wisata di kota Bandung.
2.     Dulur adalah bahasa Sunda yang artinya saudara.