Minggu, 07 Desember 2014

Bapak Penjual Jam

Pada suatu pagi, Pak Haydi baru membuka toko mainannya. Sekitar setengah jam kemudian, datang seorang perempuan dan anak laki-lakinya yang masih kecil. Didalam toko, anak kecil tersebut minta dibelikan sebuah mainan pesawat terbang, tapi ibunya menolak karena harganya terlalu mahal. Akibatnya, anak kecil tersebut menangis sambil merengek minta dibelikan. Tidak tega melihat anak kecil tersebut terus menangis, Pak Haydi memperbolehkan perempuan tersebut membayar dengan seadanya saja. Awalnya perempuan tersebut menganggap Pak Haydi bercanda, tapi Pak Haydi mengatakan kalau dia benar-benar serius. Akhirnya anak kecil tersebut berhenti menangis setelah mainan yang dia mau berada di genggamannya. Perempuan tersebut berterima kasih banyak, dan mendoakan semoga usaha Pak Haydi sukses, kemudian dia pergi meninggalkan toko.

Mengetahui hal tersebut, istrinya protes kepada Pak Haydi karena sering memperbolehkan beberapa pembeli membayar dengan sesukanya. Padahal bulan ini baru sekali, tiga bulan yang lalu juga sekali, baru lima bulan yang lalu ada dua orang.

Suatu saat, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang membuat dagangannya sepi pembeli, sehingga pendapatannya menjadi kecil. Istrinya juga kehilangan pekerjaan setelah dipecat dari toko makanan tempat dia bekerja. Kondisi ini membuat pada suatu malam Pak Haydi dan istrinya bertengkar. Putri semata wayangnya yang masih bersekolah di kelas 2 SMA memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencari pekerjaan, tapi ditolak keras oleh Pak Haydi, karena jika begitu maka usaha Pak Haydi selama ini untuk menyekolahkan putrinya menjadi sia-sia saja.

Dua hari kemudian, putrinya mengalami kecelakaan ketika angkutan umum yang ditumpanginya bertabrakan dengan sebuah truk. Sempat dibawa ke rumah sakit, namun sayangnya setelah beberapa hari dirawat, nyawanya tidak tertolong akibat luka yang parah di kepalanya.

Kejadian itu membuat Pak Haydi dan istrinya terpukul. Keuangannya juga menjadi terkuras. Setelah itu istrinya memutuskan untuk cerai dan kembali ke kampung halamannya. Rekan kerja istri Pak Haydi memberitahu kalau istrinya sebenarnya sudah cukup lama kenal dekat dengan seorang laki-laki lain yang lebih mapan darinya, dan istrinya pergi bersama laki-laki tersebut. Mengetahui hal tersebut, hati Pak Haydi seakan dicabik-cabik.

***

Suatu hari datanglah seorang lelaki bernama Arsa ke tokonya, dia mengaku mengenal Pak Haydi, tapi Pak Haydi tidak mengenal Arsa. Arsa menjelaskan pada Pak Haydi kalau dia adalah anak kecil yang dulu pernah diberi jam tangan oleh Pak Haydi, ketika Pak Haydi masih membuka toko jam. Sebelum menjadi penjual mainan, Pak Haydi adalah seorang penjual jam.

Ketika itu Arsa masih kecil, dia berkunjung ke toko jam Pak Haydi, dia menginginkan sebuah jam tangan yang dipampang di toko, tapi dia tidak bisa membelinya karena dia adalah seorang gelandangan yatim piatu yang tidak membawa uang. Saat itu istrinya yang sedang jaga toko mengusirnya, tetapi Pak Haydi merasa iba dan memberikan jam tangan yang diinginkan Arsa secara gratis.


Awalnya Arsa hanya berniat untuk bersilaturahmi dan membalas kebaikan Pak Haydi di masa lalunya itu, tapi setelah mendengar cerita dari tetangga mengenai keadaan Pak Haydi sekarang, dia menjadi berniat membantu masalah Pak Haydi.

“Pak, saya sempat lupa alamat toko bapak ini setelah bertahun-tahun lamanya, kemudian saya bertanya-tanya sama tetangga disini, dan salah satu tetangga menceritakan tentang keadaan bapak sekarang ini. Saya ikut sedih, dan… saya ingin membantu bapak, saya akan memberikan dana untuk bapak supaya usaha mainan bapak ini jalan kembali. Saya juga akan mencarikan  pegawai untuk bapak, apalagi sekarang jamannya teknologi informasi, kita harus beradaptasi dengannya.” Kata Arsa.

“Tak usah repot-repot anak muda, saya…”

Arsa memotong perkataan Pak Haydi, “Pak, anggap saja ini adalah balasan dari Tuhan atas kebaikan yang telah bapak lakukan. Pak, waktu dulu itu saya hidup susah, setelah kedua orang tua saya meninggal, saya terpaksa menjadi gelandangan. Tapi setelah semua kerja keras yang saya lakukan, dan berkat pertolongan Tuhan pula, saya bisa menjadi pengusaha seperti ini, syukur dengan semua ini. Saya juga ingin beramal baik Pak, dan ini adalah kesempatan yang sangat baik. Jadi izinkan saya ya Pak…”


Kemudian Pak Haydi teringat dengan nasihat agar jangan menghalangi orang yang hendak berbuat baik.

“Baiklah anak muda, saya tidak tahu harus mengatakan apa, tapi saya sangat berterima kasih sekali, saya tidak menyangka, bahkan saya lupa dengan anda yang waktu masih kecil itu pernah datang ke toko saya ketika masih berjualan jam…”

Air mata pun turun dari mata Pak Haydi, dan dia memeluk Arsa, “Makasih banyak ya dek Arsa, makasih banyak…”

“Tak apa Pak Haydi, bersyukurlah pada Tuhan…” Kata Arsa.


Kemudian Arsa memberikan dananya kepada Pak Haydi untuk membangun kembali toko mainannya. Kali ini tokonya memiliki beberapa pegawai. Selain itu, sistem pemasarannya juga menjadi lebih maju seiring perkembangan teknologi informasi.

***

Pada suatu hari, Arsa menghampiri Pak Haydi yang sedang memugar tokonya.

“Ada rencana untuk menjual jam lagi Pak?” Tanya Arsa.

“Hmmm… sepertinya tidak, saya betah menjadi penjual mainan, membuat saya dekat dengan anak-anak, saya suka anak-anak. Lagipula majunya teknologi ini membuat semuanya menjadi semakin menarik, anak-anak muda itu tau bagaimana caranya memanfaatkan itu semua.” Jawab Pak Haydi sambil memperhatikan karyawannya yang sedang ikut memugar.

***

Pak Haydi terus menjalankan tokonya selama sekitar 5 tahun, sayangnya tak lama setelah itu, Pak Haydi meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya. Untuk sementara, toko mainannya dijalankan oleh salah seorang pegawai kepercayaan Pak Haydi.

Arsa yang ketika menghadiri pemakaman Pak Haydi sudah menikah, merasa sangat kehilangan, istrinya mencoba menenangkannya.

“Yang…” kata istrinya sambil mengusap air mata Arsa.

“Aku sudah menganggap dia sebagai ayahku sendiri, aku selalu ingat dia, ketika aku masih kecil itu, sampai sekarangpun aku selalu ingat dia adalah bapak penjual jam, bapak penjual jam yang sangat baik hati.” Kata Arsa sambil menangis.

“Tetangga-tetangganya pun  mengatakan kalau dia adalah orang yang baik, tidak ada satupun yang mengatakan kejelekan tentang dirinya.” Kata istrinya.

Arsa kemudian berhenti menangis dan mengatakan, “Semoga amal ibadahmu diterima disisi-Nya, wahai bapak penjual jam.”

Kamis, 04 Desember 2014

Jangan Mengganggu Tempatku!

Dari balkon indekos, hmmmh... kuhirup udara sore yang sejuk ini dalam-dalam, lalu kupandangi langit di atas yang begitu cerahnya, awan-awan menaungi, langit biru kekuning-kuningan, burung-burung terbang berseliweran di atas, atmosfirnya membuatku merasa nyaman. Setidaknya Bandung masih bisa disebut kota kembang (bunga), meski tidak seperti yang dulu lagi. Banyaknya kendaraan bermotor membuat polusi udara menjadi semakin tinggi.

Plak! seseorang menepuk bahuku, "Dli... wey... menghayati suasana nih?" Ternyata teman indekosku, Hansa.

"Iya nih." Jawabku.

"Heh, ayo cepetan ke kosan aku, ada jagung bakar!" 

"Wah bener? Kamu memang datang disaat yang tepat Sa! Tapi mending dibawa kesini aja deh." Kataku dengan gembira.

"Boleh, tidak masalah!" Jawab Hansa.

Jagung bakar yang ditawarkan oleh Hansa melengkapi suasana sore ini yang begitu nikmat.


***

Malam harinya, selepas shalat Isya, aku berada di kamar indekos Hansa untuk bermain game di komputernya. Keasyikan bermain, tak terasa waktupun menunjukkan pukul 12 dini hari.

"Waduh udah jam 00.06, gak kerasa nih Sa, udahan dulu, ngantuk." Kataku sambil menguap.

Sambil menepuk dahinya, Hansa berkata, "Oh iya, aku lupa ngerjain tugas nih, besok pagi dikumpulin, bentar Dli, kayaknya aku butuh bantuan kamu."

"Ya elah, besok pagi ada tugas, malemnya baru dikerjain, kebiasaan buruk." Kataku menyindir.

"Gak banyak sih, cuman ngetik tentang resensi buku, terus tugasnya dikumpulin doang, soalnya dosennya mau ada acara, jadi udah itu beliau langsung pergi, udah gitu aku ke kosan lagi buat molor, gak ada jadwal kuliah lagi, hehe... Makanya sekarang aku berani gadang." Kata Hansa.

"Jadi sekarang aku harus bantuin gimana?" Tanyaku.

Sambil membuka Internet di komputernya, "Gak susah, kamu bantuin aku nyariin buku apa yang bagus, soalnya kamu seneng baca buku kan, jadi..."

Belum sempat Hansa menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba listrik padam, suasana pun menjadi gelap gulita. Gedung indekos yang kami tempati cukup luas, dengan 2 lantai. Kulihat keluar jendela, ternyata padam dari PLN-nya, karena rumah-rumah disekitar gedung indekospun gelap gulita. Aku teringat dengan sepeda motorku diluar yang belum dikunci ganda. 


Hansa menyalakan lampu portabelnya dan menggerutu, "Ah sialan, disaat sedang ada keperluan penting seperti ini, listrik padam!"

"Punya senter gak? Pinjam dulu, aku mau ngunci ganda motor dulu dibawah, takut ada yang maling." Pintaku, kemudian Hansa meminjamkan senternya.

Kususuri lorong lalu menuruni tangga hingga sampai di daerah parkiran, suasana begitu sepi karena penghuni gedung sedang terlelap tidur. Begitupun dengan daerah disekitar gedung, sunyi. Udara terasa lebih dingin dan gerimis sedang turun. Cahaya bulan tertutup oleh awan-awan tebal. 

***

Setelah mengunci ganda sepeda motor, dan hendak kembali ke kamar, aku mendengar suara bebek dari gudang di sebelah gedung. Bebek darimana? Setahuku pemilik dan penghuni gedung indekos tidak ada yang memelihara bebek, begitupun masyarakat disekitarnya. Lagipula, kenapa bisa ada bebek di dalam gudang? Itu membuatku penasaran, lagipula gudang tersebut bukan gudang yang tidak terpakai, pemilik gedung indekos yang menggunakannya. Timbul juga pemikiran sedikit jahat, mungkin di dalamnya ada barang berharga yang bisa diambil.

Kemudian aku berjalan menuju gudang tersebut yang bangunannya terpisah dari gedung indekos. Kusinari sebuah pintu kecil untuk masuk ke dalam. Ternyata gemboknya tidak terkunci, mungkin pemiliknya lupa mengunci. Pelan-pelan kuambil gembok tersebut dan kubuka pintunya. Kusinari ke dalam, ternyata terdapat sepeda motor bekas, onderdil-onderdil mobil, barang-barang elektronik bekas, dan perabotan rumah tangga lainnya yang tidak terpakai. Tapi sepertinya masih ada yang bisa berguna, pikirku.

Suara bebek tadi tidak terdengar lagi sejak aku mendekati gudang ini, tapi sepertinya bebek tersebut masih ada, terdengar suara derap kakinya dari ruangan kecil di sebelah ujung. Kuhampiri ruangan kecil tersebut, Suaranya berasal dari lubang langit-langit. Kebetulan ada tangga lipat, kuambil tangga tersebut untuk memeriksa lubang langit-langit itu. Lumayan tinggi.

Kusinari setiap sudut loteng itu, tapi tidak ada apa-apa, termasuk bebek itupun tidak ada. Saat itu entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk dan rambutku menjadi tegang, lalu aku merasa panas dingin, sendi-sendi tubuhku menjadi kaku, dan aku merasa linglung. Tubuhku tidak bisa bergerak, tapi aku masih bisa menggerakkan kepalaku perlahan-lahan.

Senter yang kupegang terlepas, dan, brak! Jatuh ke lantai. Kuarahkan pandanganku ke bawah, dan... senter itu menyinari sesuatu. Agak kabur, tapi akhirnya aku bisa melihatnya. Seperti kulit, ada rambutnya, tapi ya ampun... ada darah di lantai, darah itu mengalir dari benda itu... ternyata benda itu... itu adalah kepala manusia yang terpenggal! Tapi dimana wajahnya? Rambutnya cukup panjang acak-acakan, gimbal... oh ya ampun... dia tidak memiliki wajah, wajahnya rata! Kepala manusia yang terpenggal, rambutnya panjang acak-acakan, dan wajahnya rata dengan kulit, tidak ada mata, hidung, ataupun mulut. Namun wajah ratanya itu masih membentuk muka manusia.

Perasaanku benar-benar kacau, aku tidak bisa bergerak sedikitpun, pandanganku tertuju ke arah muka rata itu. Aku tidak bisa merasakan tubuhku, dan pikiranku hanya terfokus pada muka rata itu. 


Dan muka rata itupun berbicara dengan bahasa Sunda. Bagian bawah wajahnya dimana terdapat mulut, bergerak-gerak seperti orang yang sedang berbicara pada umumnya. Suaranya serak dan parau.

"Maneh dek naon kadieu? Maneh tong ngaganggu tempat aing, ieu tempat aing!" (Kamu mau apa kesini? Kamu jangan mengganggu tempat saya, ini tempat saya!)

"Naha beut nyieun bangunan ditempat aing hah?" (Kenapa mendirikan bangunan ditempat saya hah?)

"Maraneh teh geura nyingkah tina tempat aing!" (Kalian semua cepat-cepat menyingkir dari tempat saya!)

"Geura nyingkah tina tempat aing! Tong nganganggu tempat aing!" (Cepat menyingkir dari tempat saya! Jangan mengganggu tempat saya!)

Kalimat terakhirnya sangat keras. Saat itu pula kesadaranku hilang, dan peganganku ke tangga terlepas, aku jatuh ke bawah, ke tumpukan kardus bekas.

***

Sebuah cahaya terang menyilaukanku. Kubuka mataku, sudah tidak mati lampu lagi. Uh... badanku terasa sakit dan kepalaku pusing. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 3 dini hari. Kulihat sebuah tangga yang mengarah ke lubang langit-langit, senter yang menyala di lantai, dan aku berada di atas tumpukan kardus. Tapi... kenapa aku berada di atas tumpukan kardus? Terakhir kali kuingat aku sedang memeriksa langit-langit itu? 

Kupandangi keadaan sekitar, kulihat senter tersebut di lantai, teringat sesuatu... sepertinya aku kehilangan ingatan sebentar. Teung... kepalaku seperti berputar, dan... ya ampun... muka rata itu! Aku segera mengambil senter dan lari keluar meninggalkan ruangan tersebut.

Di pintu gudang, ada seorang bapak-bapak berdiri menghalangi dengan posisi membelakangi. Lari kecilku terhenti, jantungku berdegup kencang, keringat dingin keluar. Dia berdiri dengan tegak, menggunakan pakaian jaman dahulu, pakaian adat sunda.

Jangtungku semakin berdegup kencang dan mataku terbelalak setelah melihat kakinya yang tidak menyentuh tanah, dia melayang sekitar 5 sentimeter dari tanah! Oh ya ampun... entah kenapa tiba-tiba aku menjadi kaku.

Badan bapak-bapak itu berputar menghadapku dengan cepat. Dan sekarang aku bisa melihat wajahnya, wajahnya... wajahnya... rata!

Seketika itu pula pikiranku tidak bisa fokus, tubuhku lemas, dan terjatuh, telingaku mendengung, dan... pandangan menjadi gelap... aku pingsan.