Jumat, 03 Agustus 2012

Hinaan Terakhir Dari Bagus

Sedikit demi sedikit kubuka mataku yang terpejam dari tadi malam. Akhirnya dapat kubuka dan kutatap jam weker di sampingku, pukul 6 pagi. Segera kubangkit dari tempat tidurku dan seperti biasanya, mandi, sarapan dan persiapan berangkat ke kampus.

“Keong!” gerutuku dalam hati ketika berada di dalam angkot yang masih ngetem sejak 15 menit lalu. “Bisa-bisa terlambat nih!” aku selalu datang tepat waktu ke kampus, makanya aku malu datang terlambat. Tapi aku selalu bersyukur bisa berkuliah di kampus elite itu. Kebanyakan hanya orang tajir plus berotak tebal saja yang bisa masuk kesana. Jika bukan karena beasiswa yang kudapat semasa SMA, tidak mungkin aku berada di sana, karena biayanya bagaikan langit untukku. Ujian seleksinyapun ketat, tidak mudah. Motor mahal dan gaya hidup glamour menjadi mayoritas mahasiswa di sana. Oh ya, kebanyakan dari mereka juga apatis, tak ada yang peduli dengan warung Pak Husni di sebelah kampus yang bulan kemarin sebagiannya hangus dilalap api. Tak seorangpun dari borjuis itu yang membantu, kecuali segelintir orang, padahal mereka juga suka ngutang di warung itu. Pak Husni jarang nagih tuh. Ah, begitulah karakter manusia yang bermacam-macam. Tapi bagiku hanya ada karakter baik dan jahat.

Turun dari angkot langsung menuju ruang kelas karena aku sudah telat 10 menit. Bisa sedikit santai, dosennya baik. Mata kuliah pertama terasa singkat.
“Bapak dapat berita dari dosen lain, besok pagi ada rapat dosen dan seluruh staf kampus. Barusan pengumumannya dipasang di mading.”
Wah sepertinya besok libur, karena biasanya kalau ada rapat kampus, perkuliahan suka diliburkan. Ternyata benar, kulihat pengumuman di mading.
Tidak ada lagi mata kuliah setelah ini, tapi daripada langsung pulang, mendingan aku ke taman, buka laptop dan main game.

“Wah Fik, kamu punya game yang harus membangun kota itu? Nanti aku minta game-nya ya.”
“Iya, sip. Ntar aku kasih.”
Saat sedang asyik menatap layar laptop, datanglah “Sang Juragan” di angkatanku, Bagus Nugraha, dengan rokok di mulutnya, berjalan dengan gaya belagu dan wajah yang mencemooh, dengan dua cees-nya mengikut di belakang. Yang kutahu dari orang ini, dia tidak menyukaiku. Mungkin dengki, karena aku masuk kesini karena beasiswa.
“Kayaknya dia mau kesini, matanya menatap ke kamu Fik.” sahabatku memberitahu.
Benar saja dia sudah berdiri di hadapanku. Menatap sambil nyengir.
“Fik, mau ikut gak sore sekarang?”
“Kemana?”
“Aku sama temen-temen mau touring ke puncak, nanti di sana kita berendam di pemandian air panas, terus kita nyewa vila dan seneng-seneng malam ini, gimana?”
“Maaf Gus, tapi aku gak bisa, soalnya uang lagi gak ada, motor juga gak punya.” kuharap Bagus bisa mengerti.
“Yah gimana sih loe, tiap diajakin pasti gitu aja alesannya, kamu keki sama aku heh Fik?” mulai lagi cemoohannya bagaikan badai gurun di siang hari menerpa wajahku.
“Beneran Gus aku gak bohong, keki apaan? enggak ah.”
“Ah dasar si 'gak punya uang', miskin emang rese. Disini eman gini kehidupannya Fikri Aprianto, kamu kalo emang gak suka kehidupan kayak gini, mendingan pindah aja. Banyak kok kampus yang nerima anak beasiswa kayak kamu.” cemooh Bagus dan langsung pergi sambil menyeringai padaku. Menghisap rokok tentunya.

Kata “si gak punya uang” dan “miskin emang rese” menyayat hatiku. Aku segera ber-istighfar agar tidak timbul rasa benci dari sakit hati ini.
“Sabar ya Fik, aku juga sama kayak kamu. Kata-kata si Bagus tadi juga bikin aku sakit hati.” sahabatku menenangkan.
“Sudah biasa dia kayak gitu padaku, aku pulang dulu ya, udah jam 12.30. Laper nih, perut udah nuntut.”
Aku segera pulang ke rumah. Seperti biasa naik angkot, tapi kalau pulang tanpa ngetem.

Tanpa belas kasihan aku menghabiskan 3 donat coklat kacang yang ada di meja makan dan segelas kopi susu. Lalu berbaring di atas kasur, tidur untuk melupakan penat di kampus tadi.
Segarnya bangun dari tidur siang, sore dan malam ini aku bisa santai karena besok kuliah libur. Melanjutkan game tadi malam ini.
Sedang antengnya bermain game, HP-ku berbunyi tanda ada SMS datang. Dari Bagus, isinya mencemooh aku lagi:
“Hey anak rumahan, seorang laki-laki dewasa pasti ngelakuin hal dewasa. Kenapa kamu gak gaul sama orang dewasa kayak kita-kita?”
Setelah itu datang lagi 2 SMS yang isinya sama. Kubiarkan saja, dibalas juga tidak ada manfaatnya. Buang-buang pulsa saja. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, aku harus tidur.

Pagi ini aku tidak tahu mau ngerjain apa. Bermain game tadi lagi? Ah bosan.
“Fik main kesini yuk, kita main PS, lagi sendirian nih gak ada temen.” sepupuku meng-SMS mengajakku main Playstation di rumahnya. Daripada bosan di rumah, aku langsung ke rumah sepupuku yang berjarak tak jauh dari rumahku.
“Memang skill-ku harus diakui kehebatannya, hehehe...”
Yaw, sepupuku memang lebih berbakat bermain game bola dibandingkan aku.
“Gimana nih, mau dilanjutin lagi?”
“Boleh-boleh, ayo!”
Seru juga walaupun kalah terus. Tak terasa hingga tengah hari aku bermain.

“Fik kamu harus kesini, ke rumah si Bagus, cepetan Fik, penting!” begitu isi SMS dari sahabatku. Kukira SMS dari si Bagus lagi.
Segera aku meminjam sepeda motor sepupuku dan meluncur menuju rumah Bagus. Sesampainya di sana aku disambut sahabatku dengan wajah datar.
“Fik, gakkan ada yang bakal ngehina kamu lagi.”
“Maksudmu, ada apa ini?”
“Aku dengar dari teman yang ikut rombongan si Bagus, tadi pagi mereka pulang, tapi tidak beriringan seperti waktu pergi; di vila sebelum pulang, Bagus nenggak minuman keras gitu; pas pulang naik motor dia jadi teler, nancep gas kenceng-kenceng, terus nabrak bagian belakang truk yang lagi diparkir. Cuman lampu kecil motornya aja yang dinyalain, padahal hari masih gelap. Ceweknya yang dibonceng selamat, tapi menderita patah tulang tangan, karena loncat pas liat si Bagus bakal nabrak itu truk.”
Aku mengerti perkataan sahabatku ini, Bagus meninggal karena kecelakaan tadi pagi.
“Inalillahi wa inna'ilaihi rooji'un, yaudah sekarang kita ikut ke pemakamannya.”
“Beneran kamu Fik? dia kan orangnya... kamu tahu sendiri kan?”
“Ya aku tahu, tapi kita harus memaafkannya. Dia kan sudah meninggal, gak ada lagi urusan dengan kita.”
Aku benar-benar tidak menyangka jika Bagus akan meninggal hari ini. Aku ikut dari pengiringan jenazah ke makam hingga penguburannya.

Kini tidak ada lagi yang selalu mencemoohku di kampus. Begitu pula teman-teman yang senasib denganku, para anak beasiswa. Genk yang dulunya dipimpin Bagus telah bubar. Rupanya mereka juga tidak terlalu menyukai Bagus, hanya karena Bagus orangnya suka menyogok pake uang untuk membentengi dirinya. Aku tidak pernah dendam padanya, walaupun sepanjang hidupnya, Bagus hanya menghinaku saja. Yang kuingat darinya hanya hinaan dan hinaan, kemarin siang adalah hinaan terakhir darinya untuk selama-lamanya.

Senin, 30 Juli 2012

Perempuan Tak Berhati

Malam itu, Deni sedang melamun di pos ronda. Lalu datanglah Riki.

“Den, ngapain loe malem-malem gini nongkrong sendirian di gubuk reyot ini?”

“Gue lagi nungguin si Ibeng, mau ke Warnet buat gadang.” Jawab Deni.

“Ya elah, pake ngelamun segala lagi, suruh cepetan si Ibeng nya tuh, udah jam 10 malem gini. Hati-hati loe, ntar ada perempuan tak berhati nyamperin.” Kata Riki.

“Perempuan tak berhati bakal gue putusin.” Jawab Deni lagi.

“Maksud gue, perempuan tak berhati, soalnya badannya juga bolong, gimana mau ada hatinya?” Canda Riki.

Deni menjawab sambil nyengir, “Gila loe, itu namanya kuntilanak!”

Minggu, 29 Juli 2012

Ketiduran Ibu

Pagi itu, Lia setengah berlari menyusuri lorong sekolahnya, wajahnya terlihat tegang.

“Lia, dari mana saja kamu!?” Tanya bu Nuning.

“Kenapa baru masuk jam segini? 9 lewat 40 menit, kamu sudah terlambat 40 menit!”

Lia pun gemetaran, “Anu Bu...”

“Anu...”

“Anu...”

Bu Nuning keheranan, “Anu apa, kenapa dengan anu kamu?”

Sontak anak-anak sekelas tertawa.

“Ketiduran ibu...” jawab Lia.

“Hah, sejak kapan saya meniduri kamu?” tanya bu Nuning dengan judes.

“Bukan bu, maksudnya... saya bangunnya kesiangan.”

Sontak, anak-anak sekelas berkata, “Ooo...”

Sabtu, 28 Juli 2012

Gigi Offside

“Kepada seluruh jama’ah agar meluruskan shaf-nya masing-masing.” Ucap imam sebelum memulai shalat tarawih malam itu. Seluruh jama’ah pun meluruskan barisannya masing-masing. Melirik kedepan, kesamping, dan kebelakang, ketika dirasa sudah lurus, badannya ditegakkan.

Dadang berada di barisan ke-6, dengan mengenakan baju koko putih, sarung kotak-kotak ala ronda, sorban hijau di pundak kanan, peci hitam, dan juga mukanya yang berekspresi alim, lengkap dengan janggut nya yang keriting cukup panjang, membuatnya terlihat seperti seorang guru ngaji yang bijaksana, padahal faktanya dia masih duduk di kelas 3 SMA, dan pekerjaan sehari-harinya tak jauh seperti kebanyakan teman sebayanya.

Merasa sudah mantap, Dadang siap-siap takbir, tapi tiba-tiba anak seusia SD di sebelah kanannya menyuruh Dadang untuk mundur meluruskan barisan.

“Kak, munduran dikit, terlalu maju.”

Tapi Dadang merasa sudah lurus, lalu dadang siap bertakbir lagi.

“Allahu A...” takbir Dadang terhenti lagi oleh anak tadi.

“Kak, dibilang terlalu maju kok belum mundur juga?”

Dengan lagak bingung, Dadang menjawab, “Kakak udah lurus barisannya, mau mundur gimana lagi, ntar orang dibelakang nyium pantat kakak?”

Sambil cekikikan, anak itu berkata, “Itu kak, he... maksudnya giginya yang mundur, soalnya terlalu maju, nanti offside, hihihi... vis!”

“Gobl... kampr... tuh anak!” gerutu Dadang.

Memang gigi Dadang termasuk gigi tongos. Sambil nyengir Dadang menutup mulutnya dan memulai shalat.

Selasa, 26 Juni 2012

Raksasa Merah

Hampir sampai, tinggal beberapa langkah lagi
Lariku ini mampu menyamai kalian
Tapi... lariku melambat, terus melambat
Hingga akhirnya terhenti

Kalian terus berlari, lalu tersenyum padaku
Dan berkata, “Kami tidak dapat berhenti berlari, maafkan kami!”

Dengan sekuat tenaga
Aku berusaha berlari kembali
Hingga aku hanya beberapa langkah dibelakang kalian
Beberapa langkah untuk menyamai kalian

Tapi...

Tiba-tiba muncul di hadapanku
Sesosok raksasa merah yang mengerikan
Menghalangiku dari kalian

Aku mencoba melewatinya
Tapi dia tetap menghalangiku

Dia pun menyeringai

Kemudian memakanku
Mengunyahku hidup-hidup

Selasa, 17 Januari 2012

Mereka Hanyalah Imajinasi

Ketika kesendirian datang
Aku selalu berpikir tentang sahabat
Datang untuk menemaniku

Tapi...
Mereka hanyalah imajinasi

Aku begitu berbeda
Aku begitu dikesampingkan
Itu membuatku menangis dalam hati

Jumat, 06 Januari 2012

Beban Berat

Cahaya terlihat, tapi masih pudar
Aku mengetuk-ngetuk kepalaku, kemudian bertanya pada diriku sendiri,
Apakah ini nyata?
Ya ini nyata!

Sebuah cahaya jelas muncul dalam pandanganku
Aku segera berlari untuk mengejarnya,
Lari dan lari hingga kehabisan tenaga

Apakah aku tolol?

Tentu saja lariku lambat dan berat,
Beban berat mengikat kedua kakiku
Apa yang harus ku lakukan?
Aku tidak dapat melepaskannya,
Aku benar-benar tidak dapat melepaskannya!